Suara.com - Kompleks lokalisasi terbesar di Kota Semarang Resosialisasi Argorejo atau beken dikenal Sunan Kuning rupanya memiliki riwayat panjang. Orang awam pun banyak dibuat bingung lantaran tempat bisnis lendir itu malah berkonotasi dengan nama wali penyebar Islam, pada kata Sunan.
Nama Sunan Kuning merupakan nama penyebutan lafal yang telah berubah, dari seorang tokoh ulama keturunan Tionghoa-Jawa yang dimakamkan di komplek Argorejo, yakni Soen An Ing. Dia hidup sekira abad 17 masehi, menyebarkan agama Islam di wilayah Semarang dan Pantura Jateng.
Sunan Kuning sebenarnya memiliki nama lain yakni Raden Mas Garendi. Nama itu populer saat membantu pemberontakan Jawa-Tionghoa melawan VOC Belanda di Pati Jawa Tengah tahun 1742. Bahkan Sunan Kuning dinobatkan juga sebagai Raja Orang Jawa - Tionghoa karena kegigihannya melawan penjajahan.

Untuk mempermudah lafal penyebutan masyarakat lokal pun akhirnya menyebut Sunan Kuning. Nama itu kian melekat jika menyebut sebuah komplek prostitusi di Semarang. Menjadikan kian redup pula pamor nama sang ulama dan tokoh nasionalisme Jawa - Tionghoa tersebut.
Suara.com pun menyusuri makam Sunan Kuning yang terletak 50 meter dari Resosialisasi Argorejo. Tepatnya, di bukit kecil Gunung Pekayangan di Jalan Sri Kuncoro 1 RT 6 RW 2 Kelurahan Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Kota Semarang. Makam itu kini dikelilingi pekuburan umum oleh warga sekitar.
Untuk menuju kesana memang harus melewati gang-gang komplek lokalisasi. Pada hari biasa di luar Ramadan, pemandangan wanita pekerja seks komersil dengan kafe dan karaoke tersaji secara blak-blakan bagi siapa saja yang melewatinya.

Memasuki area pekuburan umum Bukit Pakayangan, makam Sunan Kuning ada di paling atas komplek pekuburan warga Argorejo Kalibanteng Kulon itu. Dipisahkan dengan tembok dan gapura khas China. Pohon rindang menjadi komplek makam itu terasa sejuk.
Di sana dapat ditemui tiga bangunan makam, dengan gaya khas China perpaduan rumah Jawa. Aksesoris serba China juga terpasang, ada lampion, tulisan China, juga dupa di depan pintu masuk tiga bangunan makam itu.
Dua makam itu merupakan makam dua pengikut setianya semasa menemani penyebaran Islam di Semarang yaitu makam Sunan Kali dan Sunan Ambarawa. Ada juga satu bangunan mushola diperuntukan bagi peziarah yang datang.
Baca Juga: Hormati Bulan Ramadan, Sunan Kuning Semarang Tutup Sebulan
Warna makam itu juga khas warna China yakni serba kuning dan merah. Dihiasi dengan gambar sembilan wali yang dipasang di tembok depan makam Sunan Kuning.

Awal mula persoalan pergeseran nama muncul setelah Pemerintah Kota Semarang menetapkan komplek di sebelah makam ulama Soen An Ing, menjadi lokalisasi pada 1963.
Saat itu Kota Semarang dilanda menjamurnya prostitusi liar di jalan-jalan kota. Imbasnya, operasi prostitusi di Kota Lunpia secara besar-besaran yang sudah menjamur disekitar jembatan Banjir Kanal Barat, Jalan Stadion, Gang Warung, Gang Pinggiran, Jagalan, Jembatan Mberok, Sebandaran, dan lainnya.
Kemudian, Pemkot Semarang meresosialisasi PSK di daerah Karang Kembang Semarang. Pada 1963, pemerintah kembali memindahkan di sekitar perbukitan Argorejo. Komplek itu setara dengan Gang Dolly di Surabaya atau Kali Jodo di Jakarta, yang kini sudah berubah fungsi.
Melalui Wali Kota Semarang saat itu Hadi Subeno, diterbitkan SK Nomor 21/15/17/66, menetapkan komplek Argorejo sebagai lokalisasi. Penempatan resminya pada 29 Agustus 1966 dan tanggal itu diperingati Hari Jadi Resosialisasi Argorejo.
Tahun 2003, istilah lokalisasi Sunan Kuning diubah menjadi Resosialisasi Argorejo. Lokalisasi ini resmi dibentuk pemerintah agar para kupu-kupu malam tidak menyebar di sudut-sudut kota.
Pergeseran nama komplek itulah menjadikan makam Sunan Kuning kian hari sepi para peziarah. Padahal, sebelumnya kerap dikunjungi para peziarah baik lokal maupun mancanegara.
"Sekarang sepi para peziarah, dulu itu ramai terutama saat Imlek maupun menjelang puasa. Karena ini makam yang dikeramatkan dan dihormati," tutur Siti Komariyah (63), juru kunci Makam Sunan Kuning, Sabtu (11/5/2019).
Di ceritakan Komariyah, sebagai kuncen makam, dia tahu benar hilir mudik perjalanan para peziarah dari tahun ke tahun. Meski makin sepi, ada juga rombongan peziarah yang masih sempat datang.
"Tidak setiap hari ada peziarah, tapi pernah ada peziarah asal China, Thailand datang. Ini membuktikan Sunan Kuning terkenal tak hanya di Indonesia," ucapnya.
Dia juga akan mempersilakan para peziarah yang ingin menetap atau bersemadi dikomplek makam. Bangunan mushola biasanya digunakan untuk tempat istirahat peziarah yang menetap beberapa malam.
"Peziarah yang ingin bermalam di sini juga silakan. Disediakan tempat di Mushala," kata Komariyah, yang menggantikan mendiang suaminya sebagai kuncen.
Bahkan, karena tak hanya umat muslim saja yang berziarah. Di makam Sunan Kuning, Komariyah juga menyediakan media ziarah untuk penganut Konghucu. Berupa dupa hio, disediakan pula tempat pembakaran hio yang diletakkan di depan pintu makam Sunan Kuning.
"Kanjeng Sunan Kuning itu tokoh Cina dan Jawa, membawa ajaran toleransi dan akulturasi jadi yang berziarah juga tak hanya umat muslim ada juga Konghucu," ujarnya.
Setiap hari Komariyah akan membersihkan komplek makam lantaran pohon-pohon besar yang teduh itu banyak dedaunan yang jatuh. Dia juga kerap membantu pemakaman jika ada warga sekitar yang akan dikubur di pekuburan sekitar komplek.
Selama dia masih hidup, ibu enam anak ini mengaku akan menjaga kesucian dan kebersihan komplek makam Sunan Kuning. Menurutnya, komplek makam Sunan Kuning dari dulu sampai sekarang adalah tempat berziarah, bukanlah tempat berzina.
Kontributor : Adam Iyasa