Ketiga, Fadli mencatat kondisi darurat keuangan negara sebenarnya sudah diantisipasi dan diatu dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
"Pasal 27 Ayat (4) UU Keuangan Negara menyebutkan: dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yg selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran," bunyi pasal itu seperti yang dikutip Fadli.
Ia pun menganggap bahwa Preppu No. 1 tahun 2020 ini tak memiliki urgensi sama sekali.
Keempat, klausul dalam pasal yang menyatakan pelonggaran defisit anggaran hingga 3 persen dari Produk Domestik Bruto selama masa pandemi dianggap membahayakan dan merusak perekonomuan nasional.
Menurut Fadli, "Dengan tidak adanya batas defisit APBN terhadap PDB, maka risiko terjadinya pembengkakan utang negara jadi kian membesar."
Kelima, Fadli menilai bahwa Perppuu ini tidak sesuai dengan saran pimpinan Badan Anggaran DPR RI yang disampaikan pada Maret lalu.
Fadli menyebut ada tiga perppu yang telah disarankan untuk mengatasi dampak krisis.
"Ketiga Perppu itu adalah: (1) Perppu APBN 2020 (untuk melakukan realokasi anggaran tanpa harus menunggu APBN-P); (2) Perppu terhadap Undang Undang Pajak Penghasilan (untuk memberi keringanan pajak, tapi sekaligus juga menarik pajak lebih besar bagi orang-orang terkaya), dan (3) Perppu revisi UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara (untuk melonggarkan batas defisit anggaran)" lanjut Fadli.
Dari catatan Fadli tersebut, ia mengajak agar anggota parlemen lain meninjau kembali secara kritis dan hati-hati terkait Perppu No.1 Tahun 2020 ini.
Baca Juga: Sanksi Sosial Pelanggar PSBB DKI Berlaku Hari Ini: Dihukum Nyapu di Kuburan