Mahasiswa Clubing dan Kelompok Kecil Aktivis di Trisakti
![Mural 'Prasasti Tragedi Trisakti dan Mei 1998' di Jalan Pemuda Jakarta, pada 12 Mei 2014 lalu. [suara.com/ Adrian Mahakam]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2014/05/12/AM2014051203-e1399877911955.jpg)
Usman yang merupakan mantan ketua Senat Mahasisawa Fakultas Hukum Trisakti 1998-1999 itu mengungkapkan bahwa di awal dirinya berkuliah, mayoritas mahasiswa Trisakti memang merupakan kalangan yang memiliki latar belakang sosial dan kelas ekonomi menengah ke atas. Sebab menurut dia, ketika itu Trisakti merupakan kampus swasta termahal di Indonesia.
Bahkan Usman menyebut bahwa Trisakti sempat dianggap sebagai kampus apolitis dan gaul, berisi mahasiswa yang penuh dengan budaya pesta. Kendati begitu, di lain sisi masih ada kelompok kecil mahasiswa atau aktivis yang secara terus-menerus menghidupkan forum-forum diskusi di kampus Trisakti.
"Nah disinilah kelompok-kelompok kecil aktivis ini kemudian bertabrakan dengan tembok yang besar itu," ujar Usman.
Usman menyamapaikan bahwa menjelang pengerahan mahasiswa di awal 98 banyak perasaan dilematis semacam itu yang dirasakan mahasiswa, mulai dari persoalan keluarga, kampus hingga politik. Terlebih ketika itu, di era rezim orde baru kegiatan diskusi hingga aksi turun ke jalan merupakan hal yang tabu.
"Tidak mudah untuk bisa merayu kampus atau dosen untuk mengizinkan kegiatan-kegiatan yang ketika itu masih dibayangkan sebagai kegiatan yang tabu. Jadi membuat diskusi 2,3,5 orang itu sudah dicurigai Komunis. Ini kan kampus yang tadinya sangat dianggap kiri dianggap sarangnya Komunis tiba-tiba menjadi sangat anti Komunis di bahwa nama Trisakti," ujar Usman.
"Nah ini tentu tidak sehitam putih itu, ada banyak versi yang saya kira bisa dijelaskan," imbuhnya.
Usman menilai perasan dilema yang dirasakan mahasiswa 98 ketika itu umumnya juga dirasakan oleh generasi mahasiswa pada setiap zamannya. Seperti halnya kata dia, apa yang dirasakan oleh generasi mahasiswa saat ini ketika melakukan aksi demonstrasi bertajuk Reformasi Dikorupsi pada September 2019 lalu
"Saya berkali-kali ikut gabung ketika mereka menggelar aksi dan kelihatan sekali warnanya kurang lebih mirip apa yang dialami oleh kami ketika itu (tahun 98)," ungkapnya.
Baca Juga: Ahli Hukum Pidana Trisakti Sebut Penangkapan Tapol Papua Tidak Sah
"Tentu saja dalam film di balik 98 ini ada bumbu percintaan yang menurut saya tidak terlalu terhubung dengan persoalan politik yang mau dijelaskan," sambung Usman.