Suara.com - Isu rasisme di Indonesia masih kerap terjadi hingga saat ini. Tak jarang, tindakan rasis yang menyasar etnis atau ras tertentu kerap berujung pada konflik yang panjang buntutnya.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Amiruddin Al-Rahab dalam diskusi daring bertajuk 'Mencari Solusi Menangani Perikalu Rasis di Indonesia' mengatakan, munculnya kasus rasisme kerap diembuskan oleh para pelaku politik identitas.
"Orang-orang yang ingin menjalankan politik identitas merasa ada ketunggalan dalam identitas, selalu ingin memaksakan satu cara berpikir bahwa identitas itu tunggal," kata Amiruddin, Kamis (11/2/2021) sore.
Amiruddin memaparkan, perilaku tersebut kerap muncul karena banyak orang atau individu tertentu berpikir berada dalam ruang identitas yang tunggal. Akibatnya, jika ada identitas lain di luar identitasnya dianggap sesuatu yang asing.
Atas hal tersebut, selalu muncul upaya untuk menunjukkan supremasi atas identitas yang lain. Padahal, lanjut Amiruddin, individu atau suatu kelompok tidak pernah berdiri secara tunggal.
"Dia bisa berubah dan banyak orang itu punya identitas. Dia bisa pakai di tempat yang berbeda-beda. Misalnya seseorang bisa saja dia ras tertentu dengan etnis berbeda. Ras sama etnis berbeda kan bisa terjadi," jelas dia.
Mariana Amiruddin, Wakil Ketua Komnas Perempuan punya sudut pandang berbeda ketika berbicara isu rasisme. Dia pun menarik jauh pada akar terjadinya kasus rasisme yang kerap menggangu relasi-relasi di dalam masyarakat.
Akar terjadinya masalah rasisme berasal dari kolonialisme yang kemudian dikukuhkan oleh rezim Orde Baru. Di saat Soeharto memimpin negeri ini, beber Mariana, kerap terjadi perlakuan represif terhadap ras tertentu.
"Dan kemudian beberapa wilayah mengalami ketertinggalan yang menunjukkan diskriminasi dalam konteks pembangunan dan dan ekonomi," kata Mariana.
Baca Juga: Abu Janda - Natalius Pigai Berdamai, KNPI Tetap Tak Cabut Laporan Polisi
Penggunaan kata 'pribumi' dan 'non pribumi' misalnya. Dua kata itu adalah istilah yang diwariskan oleh kolonial yang kemudian mempertajam adanya tindakan diskriminasi terhadap ras atau etnis tertentu.
Mariana menyatakan, dua etnis atau ras yang kerap mengalami diskriminasi adalah Tionghoa dan Papua. Pasalnya, tindakan rasis terhadap dua etnis tersebut kerap melahirkan kebencian yang berulang, bahkan ketakutan secara kolektif yang dibangun oleh momen politik tertentu.
"Jadi ada kecenderungan terpola," kata dia.
Diskriminasi Fisik
Diskriminasi terhadap ras atau etnis tertentu kerap lahir dari ucapan atau ujaran yang merujuk pada warna kulit, juga jenis rambut. Mariana mengatakan, semua ciri biologis yang menjadi ujaran diskriminasi itu adalah bentuk perendahan martabat yang kemudian menimbulkan penindasan dan konflik.
"Misanya istilah kulit utih disebut sebagai tidak berwarna, sementara yang lain berwarna. Ini menunjukkan bahwa kulit putih juga warna. Tapi kita bisa merasakan ada supremasi dimana bahwa kulit putih itu adalah yang unggul," ujar dia.