"Nenek moyang Besse, serta nenek moyang orang Aborigin dan orang Melanesia berasal dari satu populasi yang sama yang datang ke kawasan ini sekitar 50.000 hingga 65.000 tahun silam," jelas Prof. Adam.
Temuan DNA Besse yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nature , adalah yang pertama di kawasan Wallacea, yaitu pulau-pulau antara Kalimantan dan Papua yang menjadi gerbang ke Benua Australia.
Besse dimakamkan dalam posisi meringkuk dan sebagian tertutup oleh batu. Perkakas dari batu dan oker merah (batu kaya zat besi yang digunakan untuk membuat pigmen) ditemukan di kuburannya, bersama dengan tulang belulang binatang.
Para arkeolog dari Universitas Hasanuddin yang menemukan fosil ini menamainya Besse, mengikuti kebiasaan dalam etnis Bugis-Makassar yang memberikan julukan Besse untuk anak perempuan.
Artefak orang Toalean hanya ditemukan di sekitar 6 persen wilayah Sulawesi sehingga ini, menurut Adhi Agus Oktaviana, salah satu peneliti, menunjukkan mereka memiliki kontak yang sangat terbatas dengan budaya manusia purba lainnya.
“Kebudayaan purba ini memiliki kontak terbatas dengan komunitas awal Sulawesi lainnya atau pulau-pulau terdekat, dan selama ribuan tahun terisolasi,” kata Adhi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Indonesia.
Para arkeolog telah lama memperdebatkan asal-usul orang Toalean. Namun, analisis DNA Besse telah mengkonfirmasi bahwa orang Toalean terkait dengan manusia modern pertama yang memasuki kawasan Wallacea sekitar 65.000 tahun yang lalu, yaitu nenek moyang orang Aborigin Australia dan orang Melanesia.
"Para pemburu-pengumpul pelaut ini adalah penghuni paling awal di Benua Sahul, benua super yang muncul selama Pleistosen (Zaman Es) ketika permukaan laut turun, dan menyingkap jalur darat antara Australia dan Papua," kata Prof. Adam.
“Untuk mencapai Sahul, kelompok manusia perintis ini melakukan penyeberangan laut melalui Wallacea, namun sampai sekarang masih sedikit yang diketahui tentang perjalanan mereka,” jelasnya.
Baca Juga: BNPB: Kondisi Terkendali Setelah Banjir Bandang di Kabupaten Sigi
Menurut keterangan pers dari Griffith University, analisis genomik terhadap DNA Besse dilakukan oleh Selina Carlhoff dari Max Planck Institute for the Science of Human History di Jena, Jerman, di bawah pengawasan Profesor Cosimo Posth (University of Tübingen) dan Profesor Johannes Krause (Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Leipzig).