Ini Kata Masyarakat Adat Soal Bencana Banjir di Kalimantan

SiswantoABC Suara.Com
Jum'at, 26 November 2021 | 10:52 WIB
Ini Kata Masyarakat Adat Soal Bencana Banjir di Kalimantan
Ilustrasi hutan di Kalimantan (Pixabay).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

"Kalau pun terlihat dari arah angin api itu merambat, ada pengetahuan leluhur, ada mantra yang bisa mematikan api," tutur Yery. 

Dengan cara bakar, menurut Yery, tanah menjadi tetap subur.

Setelah panen, ada ritual makan bersama, dan saat makan bersama itu pemilik ladang juga membagikan beras hasil panen kepada kerabat.

"Jadi kalau kami diizinkan memegang teguh cara hidup kami dan pengelolaannya, enggak akan ada kelaparan, karena ladang kami seperti minimarket, isinya bukan cuma padi, lengkap dengan sayur dan bumbu-bumbu, serta apotek hidup."

Pengelolaan ladang pun berkelanjutan sekaligus investasi bagi generasi masyarakat adat selanjutnya.

Yery menjelaskan, setelah siklus tanam padi di lahan yang sama selesai, bisa satu atau dua kali, sampah batang padi akan dibakar, dan di situ ditanam varietas baru, misalnya karet atau buah-buah yang bernilai jual cukup tinggi seperti durian, cempedak, dan duku.

"Setiap kami menanam karet atau menanam buah, doa kami adalah 'ini untuk dipanjat anak-cucuku nanti', jadi lengkap konsep keberlanjutannya untuk menopang generasi berikutnya."

Yery merasakan sendiri hasil investasi neneknya.

"Saat nenek saya meninggal dunia, kami semua kaget karena beliau meninggalkan kebun karet untuk kami, luasnya tidak main-main, 23 hektar."

Baca Juga: Wamen LHK: Tahun 2023 Penetapan Kawasan Hutan Harus Selesai 100%

Di willayah lain, misalnya di Papua, juga ditemukan praktik keberlanjutan yang serupa, yakni upacara meminta izin kepada leluhur sebelum memanfaatkan sumber daya alam yang disebut Sinara di Kaimana, dan tradisi melarang mengambil hasil laut berlebihan yang disebut Sasi di Kawe.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI