"Ini ada hubungannya dengan cara kami menjelaskan identitas nasional kami di sini, di Teluk. Kami terutama menekankan homogenitas di antara masyarakat kami, pada kesamaan yang kami miliki,” katanya kepada DW.
"Kami tidak merayakan heterogenitas kami dalam wacana sehari-hari kami."
Maddah G. tidak dapat membayangkan bahwa ada sesorang di komunitasnya akan bersedia berbicara tentang asal-usul Afrika mereka dan fakta bahwa banyak orang Afrika dibawa ke sini sebagai budak.
"Selama tidak ada yang malu akan kakek-nenek mereka dulu memiliki budak, tidak bisa diharapkan bahwa orang Arab Hitam nyaman dengan masa lalu mereka sendiri," katanya.
Perubahan lambat sedang berlangsung
Namun, beberapa negara di kawasan Teluk telah mengambil langkah awal untuk mengakui warisan perbudakan.
Qatar membuka Bin Jelmood House, museum pertama yang berfokus pada perbudakan di dunia Arab, di Doha pada tahun 2015.
Museum ini secara eksplisit menunjukkan tentang peran Qatar dalam perdagangan budak yang dan menyoroti kehidupan berat para korbannya.
"Perkembangan begitu cepat di Qatar, kami ingin melihat bagaimana keadaan berubah, bagaimana Qatar dipengaruhi oleh perbudakan dan bagaimana budak diintegrasikan ke dalam masyarakat," Hafiz Abdullah, manajer museum, mengatakan kepada kantor berita Reuters.
Baca Juga: Polri Selidiki Kasus Dugaan Perbudakan Terkait Penemuan Karangkeng di Rumah Bupati Langkat
Museum secara eksplisit menghubungkan perdagangan budak di masa lalu dengan perdagangan manusia dan kerja paksa saat ini.
"Kisah perbudakan tidak berakhir pada tahun 1952," kata Abdullah.
"Orang-orang perlu fokus pada eksploitasi manusia hari ini dan bagaimana kita bisa mengubahnya."
"Di media sosial, orang-orang semakin membahas perbudakan di Teluk, akar sosial, dan etnisnya dengan referensi khusus untuk populasi kulit hitam lokal,” kata Alebrahim, seraya menambahkan, "Dalam beberapa tahun terakhir, lingkungan akademisi dan generasi baru akademisi Teluk lebih tertarik pada sejarah perbudakan."
Langkah lain untuk pengakuan datang tahun lalu, ketika Al-Awadi menerbitkan "The History of Slaves in the Gulf," salah satu publikasi Arab pertama tentang topik tersebut.
"Selama bertahun-tahun, ketika menceritakan sejarah Teluk, kami berfokus pada orang-orang perkotaan, orang terkenal, orang kaya, penguasa, dan elit," kata Al-Awadi. "[Ini telah terjadi] dengan mengorbankan terkadang membungkam, melewatkan, mengabaikan, meminggirkan perempuan, orang miskin, budak, orang-orang yang tidak memiliki suara. "Buku ini bisa menjadi awal budaya baru,” tambahnya. (ha/yf)