Sebelumnya Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar mengindikasikan kepolisian berupaya untuk menutupi dan mengaburkan fakta kematian Brigadir J.
"Kami menilai bahwa sejumlah kejanggalan tersebut merupakan indikasi penting bahwa Kepolisian terkesan menutup-nutupi dan mengaburkan fakta kasus kematian Brigadir J," kata Rivanlee dalam keterangan tertulisnya kepada Suara.com.
Indikasi menutupi kasus ini disebut KontraS berdasarkan kejanggalan pada peristiwa ini, di antaranya terdapat disparitas waktu yang cukup lama antara peristiwa dengan pengungkapan ke publik yakni sekitar dua hari. Kemudian kronologis yang berubah-ubah disampaikan oleh pihak kepolisian.
Ditemukannya luka sayatan pada jenazah Brigadir J di bagian muka. Keluarga sempat dilarang melihat kondisi jenazah. Lalu CCTV dalam kondisi mati di lokasi kejadian, serta keterangan Ketua RT yang menyebutkan tidak mengetahui adanya peristiwa dan proses Olah TKP.
KontraS juga menemukan perbedaan keterangan antara keluarga Brigadir J dan kepolisian. Pihak keluarga, mengatakan ada empat luka tembak pada tubuh Brigadir J, yakni dua luka di dada, satu luka tembak di tangan, dan satu luka tembak di bagian leher. Selain itu, mereka juga mengatakan terdapat luka sayatan senjata tajam di bagian mata, hidung, mulut, dan kaki.
"Hal ini berlainan dengan keterangan Kepolisian yang menyebutkan bahwa terdapat tujuh luka dari lima tembakan," ujar Rivanlee.

Tak hanya KontraS, sejumlah kejanggalan dalam kasus ini juga diungkap Indonesia Police Watch (IPW). Sugeng Teguh Santoso, ketua IPW menyebut, sejumlah kejanggalan itu di antaranya, otopsi atau bedah mayat yang dilakukan ke jenazah Brigadir J.
"Dalam status akhirnya sebagaimana disampaikan oleh Polri, Brigpol Nopryansah adalah sebagai terduga pelaku tindak pidana pengancaman dengan senjata dan pelecehan. Yang menjadi pertanyaan, tindakan bedah mayat tersebut tujuannya untuk apa? Padahal bedah mayat umumnya dilakukan untuk seorang korban kejahatan bukan pelaku kejahatan," tutur Sugeng.
Kedua, kata dia, tidak adanya police line atau garis polisi di tempat kejadian perkara (TKP) dalam rangka pengamanan. Garis polisi ditujukan agar TKP tidak berubah sesuai aturan yang berlaku pada umumnya, namun tidak dilakukan di rumah Kadiv Propam.
Baca Juga: Komnas HAM Pastikan Bekerja secara Independen Usut Kematian Brigadir J
"Hal ini memunculkan diskriminasi penanganan perkara pidana," imbuhnya.