3. Terdapat ketidaksinkronan antara Keputusan Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah Nomor 118 Tahun 2024 tertanggal 29 Januari 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 Hijria dan Surat Edaran Direktur Bina Haji Khusus dan B-116038/DJ/Dt.II.IV.2/HJ.00/2/2024 tentang Penyampaian Daftar Nama Jemaah Haji Khusus Berhak Lunas Pengisian Sisa Kuota Tahun 1445H/2024M dengan UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Pasal 65 ayat (2).
4. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI sebagai aparatur pengawas internal tidak menjadikan pembagian kuota haji tambahan tahun 2024 sebagai obyek pengawasan, sementara pembagian tambahan kuota haji tahun 1445 H/2024 M ada potensi tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Keempat, Siskohat dan Siskopatuh
1. Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) tidak bisa terjamin keamanannya, karena tidak ada audit terhadap sistem secara berkala. Selain itu, terlalu banyaknya pemangku kepentingan yang dapat mengakses seperti Subdit Siskohat di Kementerian Agama RI, Subdit Pendaftaran Haji Reguler, Subdit Haji Khusus, Subdit Dokumentasi, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota, Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji sehingga rawan diintervensi dan membuka celah orang yang tidak berhak berangkat haji dapat berangkat haji.
2. Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh) tidak bisa terjamin keamanannya, karena tidak ada audit terhadap sistem secara berkala. Selain itu, terlalu banyaknya pemangku kepentingan yang dapat mengakses seperti Subdit Siskohat di Kementerian Agama RI, Subdit Perizinan, akreditasi dan Bina Haji Khusus, Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan umrah, dan PIHK sehingga rawan diintervensi dan membuka peluang orang berangkat haji tanpa antrian.
3. Lemahnya pengawasan terhadap verifikator yang ditandai dengan adanya jemaah haji yang tidak sesuai dengan Siskohat serta celah perubahan data.
Kelima, Pendaftaran
1. Di dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 226 Tahun 2023 tentang Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus; Keputusan Menteri Agama Nomor 1063 Tahun 2023 tentang Setoran Pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, dan BAB III Poin B, Keputusan Direktur Jenderal PHU No. 118 Tahun 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, prosedur pengisian sisa kuota tidak mencerminkan keadilan. Ketentuan tersebut mengakibatkan adanya praktik pemberangkatan 3.503 jemaah haji khusus dengan status tanpa antri (mendaftar tahun 2024 dan berangkat tahun 2024).
2. Ketentuan Pasal 65 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menentukan pemenuhan kuota haji khusus berbasis usulan data dari PIHK dan kesiapan jemaah. Ketentuan ini membuka peluang penyalahgunaan kesempatan oleh PIHK, dan berpotensi melanggar asas keadilan. Penyalahgunaan kesempatan tersebut berupa mengubah urutan keberangkatan dan/atau tahun keberangkatan.
Baca Juga: Ini 5 Rekomendasi Pansus Haji DPR, Termasuk Minta Agar Prabowo Pilih Menag Berkompeten
Keenam, Nilai Manfaat
Dalam mempergunakan nilai manfaat, ditemukan adanya ketidakadilan, dimana mereka yang belum berhak untuk berangkat menggunakan nilai manfaat tahun berjalan yang didapatkan dari jemaah haji lain yang berada pada daftar antrian.
Ketujuh, Jemaah Cadangan Lunas Tunda
Jumlah Jemah Haji Lunas tunda sampai tahun 2024 adalah sebesar 30% dari kuota haji nasional. Seharusnya merekalah yang diprioritaskan untuk diberangkatkan terlebih dahulu. Namun, karena ada mekanisme penggabungan mahrom, jemaah lansia dan disabilitas, hak jemaah haji lunas tunda menjadi tidak pasti keberangkatannya. Hal tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi jemaah lunas tertunda keberangkatannya.
Kedelapan, Pelaporan dan Pengawasan
Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur tentang pelaporan pelaksanaan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (PIHK) kepada Menteri. Ketentuan ini tidak dilengkapi dengan ketentuan sanksi bagi PIHK yang tidak dilaporkan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kontrol Kementerian Agama terhadap jumlah keberangkatan dan kepulangan jemaah haji khusus oleh PIHK yang seharusnya dilaporkan kepada DPR RI setelah penyelenggaraan Haji.