Data BPS
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, mencatat sekitar 10,82 persen anak perempuan menikah sebelumnya usia 18 tahun. Pada tahun 2023, prosentase capaian melampaui target nasional RPJMN 2020-2024 sebesar 8,74 persen.
Namun, lanjut Dini, masih terdapat masalah terkait perkawinan anak, seperti perkawinan di bawah tangan atau kawin siri maupun perkawinan adat yang tidak terdaftar.
Fenomena itu yang dinilai belum terjangkau oleh intervensi kebijakan terhadap pencegahan perkawinan anak.
Belum lagi adanya alasan pemberian dispensasi kawin sering kali didasarkan pada pertimbangan subjektif seperti 'khawatir terjadi kemudharatan.'
"Penilaian ini cenderung mengesampingkan aspek kecukupan umur serta kematangan psikologis anak. Plan Indonesia merekomendasikan agar Mahkamah Agung mewajibkan sertifikasi hakim anak untuk meningkatkan kualitas keputusan," ucap Dini.
Untuk mencegah perkawinan anak juga diperlukan peran tokoh masyarakat, termasuk pemuka agama.
Menurut Dini, pandangan tokoh agama dan adat yang terbatas pada fiqih pernikahan, tanpa mempertimbangkan hukum positif, menjadi tantangan dalam penghapusan perkawinan anak.
"Program edukasi bagi tokoh masyarakat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak anak. Selain itu, penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak juga masih terkendala oleh terbatasnya personil kepolisian yang memiliki perspektif perlindungan perempuan dan anak," ucapnya.
Baca Juga: Perkawinan Anak di Indonesia Tertinggi Keempat Dunia, Organisasi Masyarakat Desak Hal Ini