Pada Triwulan I 2025, perekonomian NTB mengalami kontraksi sebesar minus 1,47 persen.
Penyebab utamanya adalah tidak adanya aktivitas ekspor produk tambang, khususnya dari komoditas andalan seperti tembaga dan emas.
Namun di tengah kelesuan tersebut, lapangan usaha pertanian justru mencatat pertumbuhan positif sebesar 2,09 persen.
Menjadikannya sebagai penopang utama dalam struktur pertumbuhan ekonomi daerah. Angka ini menunjukkan pentingnya sektor pertanian dalam stabilisasi ekonomi regional.
Lebih lanjut, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 23,24 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB, dengan laju pertumbuhan tahunan sebesar 10,28 persen.
Sementara itu, kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB hanya 16 persen, bahkan mencatat pertumbuhan negatif sebesar minus 30,14 persen.
“Ini bukti bahwa pertanian tidak hanya urusan pangan, tapi juga menyangkut ekonomi rakyat dan daerah,” jelas Taufieq.
Ketahanan Pangan dan Lingkungan Jadi Prioritas
Kebijakan memperketat alih fungsi lahan ini bukan semata-mata soal ekonomi.
Baca Juga: Hari Lingkungan Hidup, Ini Cara Pertamina Dorong Pekerja Jadi Role Model Dekarbonisasi
Menurut Taufieq, konversi lahan pertanian juga berdampak pada ketahanan pangan jangka panjang dan keseimbangan lingkungan hidup.