Untuk diketahui, Pada tahun 2015, Kemenhan memulai proyek pengadaan satelit untuk mengisi slot orbit 123 derajat Bujur Timur yang sebelumnya ditempati oleh Satelit Garuda-1.
Proyek ini merupakan bagian dari program Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Namun, dalam pelaksanaannya, ditemukan sejumlah penyimpangan, termasuk penandatanganan kontrak sewa satelit Artemis dengan perusahaan Avanti Communications Limited tanpa adanya anggaran yang tersedia dan tanpa melalui proses pengadaan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku .
Berdasarkan audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara akibat proyek ini mencapai sekitar Rp453 miliar.
Kerugian tersebut berasal dari pembayaran sewa satelit yang tidak dapat dioperasikan serta biaya konsultan yang tidak memberikan manfaat sesuai fungsinya.
Selain proses hukum di dalam negeri, kasus ini juga berujung pada sengketa internasional. Perusahaan Navayo International AG menggugat pemerintah Indonesia di International Court of Arbitration (ICC) di Singapura dan memenangkan gugatan tersebut.
Akibatnya, Indonesia diwajibkan membayar ganti rugi sebesar 24,1 juta dolar AS kepada Navayo. Jika tidak dibayar, akan dikenakan bunga keterlambatan sebesar 2.568 dolar AS per hari.