Suara.com - Di tengah keterbatasan dan genangan air yang menguasai lahan hingga tujuh bulan dalam setahun, petani di Desa Banyu Hirang, Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan, justru menemukan harapan. Mereka bukan hanya menanam padi—mereka menanam masa depan.
Kelompok Tani Karya Makmur menjadi pelopor metode padi apung, sebuah inovasi bertani di atas lahan rawa yang sebelumnya dianggap tak produktif. Hasilnya panen berhasil. Lebih dari itu, muncul harapan baru bagi ketahanan pangan daerah.
“Inilah bukti bahwa keterbatasan bukan penghalang,” ujar Bupati HSU, Sahrujani, saat menghadiri panen raya padi apung, Rabu (29/5).
Ia menyebut program ini bukan sekadar urusan produksi, melainkan bagian dari visi HSU Bangkit sebagai pusat agrominapolitan yang menopang logistik Kalimantan Selatan.
Upaya ini tak berdiri sendiri. Kolaborasi lintas pihak—termasuk Bank Indonesia (BI) Kalsel—menguatkan fondasi inovasi ini. BI melalui program Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP), mendorong model pertanian adaptif yang relevan dengan tantangan iklim hari ini.
Asisten Direktur BI Kalsel, Erik Muliawan, menekankan pentingnya teknologi dan inovasi sebagai kunci menghadapi krisis iklim dan keterbatasan lahan.
“Kami percaya, petani bisa jadi ujung tombak perubahan lewat kolaborasi dan inovasi,” kata Erik.

Sebagai bentuk dukungan lanjutan, Pemerintah Provinsi Kalsel melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan turut memberikan satu unit mesin penggiling padi. Bantuan ini diserahkan langsung kepada Musran, perwakilan Kelompok Tani Karya Makmur, sebagai bagian dari penguatan infrastruktur pertanian lokal.
Padi apung merupakan salah satu inovasi pertanian yang muncul sebagai respons adaptif terhadap perubahan iklim, terutama di wilayah yang rentan banjir tahunan. Sistem ini terbukti mampu meningkatkan produktivitas dan memberikan pendapatan lebih tinggi dibandingkan usahatani padi konvensional. Oleh karena itu, padi apung sangat potensial untuk dikembangkan di lahan-lahan yang selama ini tidak bisa dimanfaatkan secara optimal akibat genangan air.
Baca Juga: Pertamina Kembangkan Energi Transisi, Dorong Kesejahteraan 408 Petani di Desa Uma Palak
Meski menawarkan banyak keuntungan, pengembangan padi apung secara luas tetap memerlukan dukungan serius. Peran pemerintah menjadi krusial, baik dalam bentuk kebijakan, pelatihan, maupun penyediaan sarana produksi yang memadai. Selain itu, dibutuhkan riset lanjutan untuk menyempurnakan teknologi budidaya ini—terutama dalam hal model rakit yang lebih murah dan tahan lama, media tanam yang efektif, serta teknik perawatan yang dapat meningkatkan hasil panen secara berkelanjutan.
Temuan ini sejalan dengan hasil studi dalam jurnal Padi Apung sebagai Inovasi Petani terhadap Dampak Perubahan Iklim di Pangandaran, yang menegaskan bahwa inovasi ini bukan sekadar solusi teknis, melainkan juga langkah nyata untuk membangun ketahanan pangan di tengah krisis iklim.
Padi apung bukan hanya soal panen. Ini tentang membangun kepercayaan bahwa masa depan pangan bisa tumbuh bahkan di atas rawa. Dengan inovasi dan gotong royong, lahan yang dulu terendam kini menjadi ladang harapan yang nyata.
Meski menjanjikan, pengembangan padi apung secara berkelanjutan membutuhkan dukungan nyata dari pemerintah. Peran tersebut bisa berupa pendampingan teknis, kebijakan insentif, hingga penyediaan sarana produksi. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait model rakit yang lebih murah dan tahan lama, media tanam yang tepat, serta metode perawatan yang dapat mendorong produktivitas jangka panjang.
Hal ini sejalan dengan temuan dalam jurnal Padi Apung sebagai Inovasi Petani terhadap Dampak Perubahan Iklim di Pangandaran karya Siti Suhartini dan Asep Saeful Rohman (2022), yang menyebutkan bahwa sistem padi apung merupakan inovasi lokal petani dalam merespons dampak perubahan iklim. Penelitian tersebut menegaskan bahwa sistem ini tak hanya memberikan hasil panen yang lebih tinggi, tetapi juga membuka peluang untuk pertanian berkelanjutan yang adaptif terhadap krisis iklim.