Suara.com - Empat izin tambang di Raja Ampat dicabut. Greenpeace menyebut ini sebagai “setitik kabar baik.” Tapi meski demikain, mereka menyebut perjuangan belum selesai.
Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik, menyambut keputusan ini sebagai langkah penting menuju perlindungan permanen bagi Raja Ampat.
Ia menegaskan, suara masyarakat adat dan komunitas lokal yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat sudah sejak lama menolak tambang nikel.
“Pencabutan empat IUP ini adalah satu langkah maju. Tapi kami masih menunggu surat keputusan resmi dari pemerintah yang bisa dilihat publik,” ujarnya.
Greenpeace menekankan bahwa perlindungan ekologis tidak bisa setengah hati. Mereka mendesak pencabutan seluruh izin—baik yang aktif maupun tidak—dan mendorong restorasi kawasan yang telah rusak.

Sebab, preseden sebelumnya menunjukkan bahwa izin yang sudah dicabut bisa diterbitkan kembali lewat gugatan perusahaan.
Lebih dari 500 hektare hutan di lima pulau kecil di Raja Ampat sudah rusak akibat tambang. Sekitar 75 persen dari terumbu karang terbaik dunia pun terancam. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi soal kehidupan masyarakat adat dan lokal yang tergantung pada laut dan hutan.
“Kampanye #SaveRajaAmpat membuktikan bahwa ketika masyarakat bersatu dan bersuara, perubahan bisa didesak. Kami mengapresiasi lebih dari 60.000 orang yang sudah menandatangani petisi,” kata Kiki.
Greenpeace juga menyerukan agar pemerintah tak hanya mencabut izin, tapi juga mendesak pemerintah mengatasi konflik sosial yang muncul di tengah masyarakat karena keberadaan tambang, serta memastikan keselamatan dan keamanan masyarakat yang sebelumnya menyuarakan penolakan terhadap tambang nikel di kawasan Raja Ampat.
Baca Juga: Endus Potensi Pelanggaran, Kejagung Siap Sikat Penambangan Nakal di Raja Ampat
"Pemerintah perlu fokus pula membangun ekosistem pariwisata yang berkelanjutan dan berpihak pada masyarakat adat dan komunitas lokal, serta memastikan transisi yang berkeadilan dan jaminan atas pemenuhan hak-hak pekerja untuk masyarakat yang sebelumnya bekerja di sektor tambang," kata Kiki dalam pernyataannya.
Bukan hanya di Raja Ampat, izin tambang nikel di pulau-pulau kecil di wilayah lain di Indonesia timur telah menimbulkan kehancuran ekologis dan menyengsarakan hidup masyarakat adat dan lokal.
"Kami mendesak pemerintah untuk juga melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin tambang tersebut. Seluruh pembangunan di Indonesia, khususnya di Tanah Papua, harus tetap memastikan prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan, pelibatan publik secara bermakna, dan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (padiatapa) jika menyangkut masyarakat adat dan komunitas lokal," kata Kiki.
Seperti diketahui, Presiden RI Prabowo Subianto, melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, mengumumkan pencabutan empat IUP di Raja Ampat, PT Kawei Sejahtera Mining (Pulau Kawe), PT Anugerah Surya Pratama (Pulau Manuran), PT Mulia Raymond Perkasa (Pulau Manyaifun dan Batang Pele), dan PT Nurham (Pulau Waigeo).
Keputusan ini diambil dalam rapat terbatas pada Senin (9/6) di Hambalang. Turut hadir sejumlah menteri terkait, termasuk Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq.
Namun satu perusahaan tambang masih belum dicabut izinnya: PT GAG Nikel. Perusahaan ini hanya diberi sanksi penghentian sementara sambil menunggu hasil verifikasi lapangan. Padahal, PT GAG Nikel—anak usaha PT Antam Tbk.—telah beroperasi sejak 2018 dan menjadi sorotan karena dianggap merusak lingkungan dan melanggar UU Pesisir serta Pulau-Pulau Kecil.