Inilah dampak jangka panjang yang paling merusak. Sejarawan senior LIPI (kini BRIN), Asvi Warman Adam, adalah salah satu suara paling vokal menentang indoktrinasi sejarah.
"Ketika negara memaksakan satu versi kebenaran sejarah, maka yang mati bukan hanya sejarah itu sendiri, tapi juga nalar kritis generasi penerusnya," tegas Asvi.
"Pendidikan sejarah seharusnya menjadi ajang dialog, bukan doktrin. Siswa harus diajarkan cara bertanya 'mengapa' dan 'bagaimana', bukan hanya 'apa' dan 'kapan'. Jika tidak, kita hanya akan mencetak generasi penghafal, bukan pemikir."
Jadilah Generasi Kritis, Bukan Pasif
Debat tentang sejarah adalah hal yang sehat, namun harus tetap berada di koridor akademis yang bertanggung jawab.
Agenda "tulis ulang sejarah" yang didorong oleh kepentingan politik adalah jalan pintas menuju perpecahan.
Bagi kita, generasi muda, tugasnya bukanlah menelan mentah-mentah narasi dari satu pihak saja, baik itu versi Orde Baru maupun versi "pelurusan" dari politisi.
Tugas kita adalah menjadi generasi yang kritis: membaca dari berbagai sumber, mendengarkan suara para korban yang terbungkam, dan memahami bahwa sejarah seringkali tidak hitam-putih.
Bagaimana menurutmu? Perlukah sejarah bangsa ini ditulis ulang oleh negara, atau sebaiknya kita membuka semua arsip dan membiarkan publik serta sejarawan menilainya secara terbuka?
Baca Juga: Bonnie Triyana: Hentikan Penulisan Ulang Sejarah versi Fadli Zon