Suara.com - Dunia baru saja menyaksikan eskalasi paling menakutkan di Timur Tengah. Serangan balasan Iran ke Israel pada Juni 2025 bukan lagi sekadar pengulangan taktik lama, sehingga mampu menembus iron dome atau pertahanan udara rezim zionis.
Ini adalah sebuah demonstrasi dari peperangan generasi baru: serangan hibrida yang mengawinkan serangan siber masif, kawanan drone cerdas (AI-coordinated swarm drones), dan rudal balistik hipersonik yang mampu bermanuver.
Serangan ini, yang berhasil menembus beberapa lapisan pertahanan canggih Israel, menjadi sebuah wake-up call yang keras bagi semua negara, tak terkecuali Indonesia.
Pertanyaan yang paling relevan bagi kita bukan lagi "apakah kita punya pertahanan udara?", melainkan "apakah pertahanan udara kita relevan untuk perang era kekinian?"
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu membedah secara jujur tiga pilar utama pertahanan udara taktis alias Irone Dome Indonesia yang dimiliki TNI saat ini.

1. NASAMS: Sang Payung Jarak Menengah Ibu Kota
National Advanced Surface-to-Air Missile System (NASAMS) adalah permata di mahkota pertahanan udara kita.
Sistem buatan Kongsberg (Norwegia) dan Raytheon (AS) ini sangat canggih, menggunakan rudal AIM-120 AMRAAM yang notabene adalah rudal andalan jet tempur F-16.
Kemampuannya untuk beroperasi dalam jaringan, menerima data dari berbagai radar, dan meluncurkan rudal secara "tembak dan lupakan" (fire-and-forget) membuatnya sangat efektif melindungi area vital seperti Istana Negara dan pusat pemerintahan di Jakarta.
Baca Juga: Konflik Iran-Israel Memanas: Bagaimana Nasib WNI? Ini Kata Kemlu
Di sinilah letak masalahnya. Pertama, kuantitas. Indonesia hanya memiliki beberapa baterai NASAMS.
Ini menciptakan "pulau-pulau perlindungan" yang sangat kuat, namun menyisakan sebagian besar wilayah Indonesia tanpa payung pertahanan jarak menengah.
Kedua, keterbatasan menghadapi ancaman baru. NASAMS dirancang untuk menembak jatuh jet tempur, helikopter, dan rudal jelajah konvensional.
Kemampuannya untuk mencegat target hipersonik atau rudal balistik yang bermanuver sangat diragukan.
Terhadap swarm drone, satu baterai NASAMS bisa kehabisan rudal dengan cepat jika menghadapi ratusan drone cerdas secara bersamaan.

2. Oerlikon Skyshield: Tembok Baja Jarak Dekat
Jika ada ancaman yang berhasil lolos dari NASAMS, Oerlikon Skyshield adalah tembok terakhirnya.
Ini adalah sistem meriam pertahanan udara modern yang mampu memuntahkan 1.000 peluru kaliber 35mm per menit.
Keistimewaannya terletak pada amunisi AHEAD (Advanced Hit Efficiency and Destruction), di mana setiap peluru akan pecah di depan target dan melepaskan ratusan proyektil tungsten kecil, menciptakan "awan pecahan" yang mematikan bagi drone, helikopter, atau rudal.
Oerlikon adalah sistem yang sangat mematikan, namun jangkauannya sangat pendek, hanya sekitar 4 kilometer. Ia adalah sistem "last-ditch" atau pertahanan titik pamungkas.
Kelemahan terbesarnya adalah ketidakmampuannya melawan ancaman dari atas (serangan vertikal) seperti rudal balistik. Terhadap swarm drone cerdas yang menyerang dari berbagai arah secara simultan, satu unit Oerlikon bisa kewalahan karena keterbatasan sektor tembaknya pada satu waktu.

3. Rudal Starstreak: Si Anak Panah Super Cepat
Starstreak adalah sistem rudal pertahanan udara panggul (MANPADS) atau berbasis kendaraan yang paling unik di dunia.
Kecepatannya yang mencapai Mach 4 (empat kali kecepatan suara) menjadikannya rudal jarak pendek tercepat.
Setelah diluncurkan, ia tidak meledak, melainkan melepaskan tiga "anak panah" tungsten yang dipandu laser secara presisi untuk menembus target.
Ini sangat efektif untuk memberikan perlindungan udara mobile bagi pasukan di darat.
Kecepatan adalah keunggulannya, namun jangkauan dan sistem panduannya adalah keterbatasan.
Jangkauannya hanya sekitar 7 kilometer. Sistem panduan laser mengharuskan operator untuk terus mengarahkan laser ke target hingga terkena, membuatnya rentan di medan perang yang kacau dengan banyak target.
Menghadapi swarm drone, seorang operator akan sangat kesulitan untuk melacak dan menghancurkan banyak drone dalam waktu singkat.
Sisi Ofensif: Kemampuan Membalas Indonesia
Peperangan modern juga tentang deterensi. Kemampuan untuk membalas serangan (offensive capability) sama pentingnya dengan bertahan.
Dalam hal ini, Indonesia telah mengembangkan beberapa rudal, namun fokusnya lebih ke arah anti-kapal.
Rudal Anti-Kapal: Indonesia memiliki rudal seperti Exocet MM40 Block 3 (Prancis) dan C-802 (Tiongkok) yang menjadi andalan KRI kita.
Litbanghan Kemhan dan BUMN industri pertahanan aktif mengembangkan roket dan rudal, seperti R-HAN 122B.
Namun, ini masih dalam kategori roket artileri, bukan rudal jelajah atau balistik strategis seperti yang dimiliki Iran.
Ketiadaan rudal balistik atau rudal jelajah jarak jauh membuat kemampuan serang balasan strategis Indonesia menjadi terbatas.
Langkah ke Depan: Modernisasi adalah Keharusan
Analisis ini bukan untuk pesimis, melainkan untuk realistis. Pemerintah dan TNI sangat menyadari celah ini. Arah modernisasi alutsista ke depan kemungkinan besar akan berfokus pada:
Pembelian sistem pertahanan udara dengan jangkauan lebih jauh dan kemampuan anti-rudal balistik menjadi prioritas.
Membangun sistem komando terpusat yang mampu mengintegrasikan data dari seluruh radar dan unit pertahanan udara di seluruh Indonesia.
Riset dan pengembangan rudal jelajah dan balistik buatan dalam negeri untuk menciptakan efek gentar (deterrence).
"Indonesia tidak boleh lengah. Modernisasi alutsista pertahanan udara bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk menjamin kedaulatan di tengah dinamika geopolitik yang semakin tak menentu."
Jika skenario perang rudal terjadi, Indonesia akan mampu memberikan perlawanan sengit untuk melindungi aset-aset vitalnya.
Namun, untuk menciptakan perisai udara yang benar-benar kokoh di seluruh Nusantara dan memiliki kemampuan balas yang sepadan, jalan kita masih panjang.