Suara.com - Ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta Wiryawan Chandra sempat menyinggung peran Presiden Ketujuh Joko Widodo dalam kasus dugaan korupsi pada importasi gula kristal mentah.
Hal itu disampaikannya dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi importasi gula kristal mentah dengan terdakwa mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
Awalnya, Kuasa Hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi mempertanyakan pendapat Wiryawan soal adanya saksi yang menyampaikan bahwa Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (INKOPOL) mendapatkan arahan Jokowi untuk membantu proses pemenuhan stok gula.
"Fakta persidangan, salah satu keterangan saksi menyatakan bahwa dari INKOPOL itu ada arahan dari Presiden, untuk membantu proses pemenuhan gula, pembentukan stok gula untuk masyarakat karena stok menipis, harga melonjak, adalah terbit perintah Presiden Pak. Pertanyaan saya Pak, apakah Menteri bisa melawan perintah Presiden Pak?" kata Zaid di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin 23 Juni 2025.
"Baik, kalau di sini memang ada arahan dari Presiden, dan ini Presiden waktu itu ya pak ya," jawab Wiryawan.
"Ya Pak, jangan sebut merek Pak, nggak boleh Pak, Ya Presiden saat itu pak, 2015-2016, Pak," ujar Zaid.
Lebih lanjut, Wiryawan menjelaskan bahwa bila ada arahan presiden, maka menteri pun harus melaksanakan perintah atasannya itu.
Dengan begitu, lanjut dia, harus ada bukti terkait arahan tersebut seperti adanya nota dinas atau apapun itu.
Menurutnya, ada atau tidaknya arahan tersebut, alangkah baiknya kesaksian Jokowi dibutuhkan dalam persidangan tersebut untuk membuat terang perkara.
Baca Juga: Ahli Sebut Perlu Ada Kesaksian Jokowi Dalam Sidang Kasus Impor Gula, Tom Lembong: Komentar Menarik
“Kalau tidak sebaiknya Presiden dihadirkan pak, untuk memberikan keterangan di sini bahwa memang dia memberikan arahan, itu lebih clear, lebih objektif, dan juga nanti akan jelas pertanggung jawabannya demikian pak,” tutur Wiryawan.
Zaid kemudian memperdalam pendapat Wiryawan terkait perintah presiden yang telah dijalankan oleh seorang menteri dan tujuan dari apa yang inginkan itu tercapai.
Namun, kata dia, ketika perintah tersebut kini dipermasalahkan, dia mempertanyakan soal siapa yang seharusnya bertanggung jawab.
"Dalam hal perintah Presiden sudah dilaksanakan, dan tujuan dari perintah Presiden tercapai Pak. Stok gula nasional terpenuhi, harga turun drastis masyarakat bisa menerima dan membeli dengan harga murah, dengan stok yang berlimpah ada, pak. Pertanyaan selanjutnya, pak, ketika ini dipermasalahkan Pak, tolong jawab jujur Pak, siapa yang bertanggung jawab?" tanya Zaid.
"Ya, seorang pejabat, apalagi dia seorang pimpinan pemerintahan, presiden, dia bertanggung jawab atas setiap tindakan maupun perintah yang dilakukan, seorang pejabat pimpinan yang baik, dia tentu akan bertanggung jawab atas penugasan yang dilakukan," jawab Wiryawan.
"Nah kalau seorang bawahan, menteri misalnya, sudah melaksanakan perintah dan tercapai tujuan, maka di sini tentu saja menteri ini akan memberikan kontribusi pada prestasi pemerintahan."
"Nah dalam konteks macam ini, Presiden tetap dalam lingkup yang harus bertanggung jawab sebagai kepala pemerintahan, sebagai satu-satunya pemimpin pemerintahan di dalam sistem presidensial kita," tambah dia.
Sekadar informasi, Tom Lembong didakwa merugikan keuangan negara sebanyak Rp 515,4 miliar dalam kasus dugaan korupsi impor gula pada 2015-2016.
Jaksa menjelaskan angka tersebut merupakan bagian dari total kerugian keuangan negara akibat perkara ini yang mencapai Rp 578,1 miliar berdasarkan laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara atas dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan Tahun 2015-2016 Nomor PE.03/R/S-51/D5/01/2025 tanggal 20 Januari 2025 dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).
Diketahui, jaksa mengungkapkan TomLembongmengizinkan sejumlah perusahaan swasta untuk melakukan impor gula kristal mentah (GKM).
Secara terperinci, jaksa menyebut izin tersebut diberikan kepada Tony Wijaya NG melalui PT Angels Products, Then Surianto Eka Prasetyo melalui PT Makassar Tene, Hansen Setiawan melalui PT Sentra Usahatama Jaya, dan Indra Suryaningrat melalui PT Medan Sugar Industry.
Selain itu, Tom Lembong juga disebut memberikan izin kepada Eka Sapanca melalui PT Permata Dunia Sukses Utama, Wisnu Hendraningrat melalui PT Andalan Furnindo, Hendrogiarto A Tiwow melalui PT Duta Sugar International, dan Hans Falita Hutama melalui PT Berkah Manis Makmur.
“Mengimpor Gula Kristal Mentah (GKM) untuk diolah menjadi Gula Kristal Putih (GKP) padahal mengetahui perusahaan tersebut tidak berhak mengolah Gula Kristal Mentah (GKM) menjadi Gula Kristal Putih (GKP) karena perusahaan tersebut merupakan perusahan gula rafinasi,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 6 Maret 2025.
Pada 2015, lanjut jaksa, Tom Lembong memberikan Surat Pengakuan sebagai Importir Produsen GKM kepada Tony Wijaya NG melalui PT Angels Products untuk diolah menjadi GKP pada saat produksi dalam negeri GKP mencukupi dan pemasukan/realisasi impor GKM tersebut terjadi pada musim giling.

Lebih lanjut, jaksa menyebut Tom Lembongseharusnya menunjuk perusahaan BUMN untuk mengendalikan ketersediaan dan stabilisasi harga gula.
Namun, Tom justru menunjuk Induk Koperasi Kartika (INKOPKAR), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (INKOPOL), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (PUSKOPOL), Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI- Polri.
Kemudian, Tom Lembong juga disebut memberi penugasan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) untuk melakukan pengadaan GKP dengan cara bekerja sama dengan produsen gula rafinasi.
Mereka disebut telah menyepakati pengaturan harga jual gula dari produsen kepada PT PPI dan pengaturan harga jual dari PT PPI kepada distributor diatas Harga Patokan Petani (HPP).
“Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tidak melakukan pengendalian atas distribusi gula dalam rangka pembentukan stok gula dan stabilisasi harga gula yang seharusnya dilakukan oleh BUMN melalui operasi pasar dan/atau pasar murah,” ujar jaksa.
Perbuatan itu diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.