Suara.com - Pengamat politik dari Citra Institute Yusak Farchan menyoroti potensi ketidakadilan politik akibat putusan Mahkamah Konstitusi atau MK perkara nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Potensi ketidakadilan muncul karena MK dalam putusannya memberikan jedah waktu minimal dua tahun atau maksimal dua tahun enam bulan antara penyelengaraan pemilu nasional dengan pemilu lokal.
Umumnya dalam masa jeda itu, kepala daerah akan digantikan penjabat gubernur dan penjabat bupati/walikota. Namun menjadi pertanyaan bagaimana dengan DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
"Sementara di legislatifnya diperpanjang 2 tahun, tentu ini akan menimbulkan problem ketidakadilan politik," kata Yusak lewat keteranganya kepada Suara.com, Senin 30 Juni 2025.
Hal itu menurutnya akan memberi kesan menyenangkan anggota DPRD, dan tidak mengenakkan bagi kepala daerah.
"DPRD-nya yang happy karena dapat bonus jabatan setidaknya dua tahun," ujarnya.
Guna mengantisipasi ketidakadilan politik itu, Yusak mendorong pembuat undang-undang merespons putusan MK dengan mencari formula yang tepat soal transisi dan masa jabatan kepala daerah, serta DPRD hasil pilkada - Pileg 2024.
"Ini yang harus dicari jalan keluarnya oleh pembentuk undang-undang melalui rekayasa konstitusional yang adil dan setara bagi peserta pemilu lokal," ujarnya.
Tak hanya itu, putusan MK juga berimplikasi terhadap syarat ambang batas suara pencalonan kepala daerah. Sebagaimana dalam putusan MK sebelumnya, dengan nomor perkara 60/PUU-XXII/2024, ambang batas pencalonan kepala daerah diubah.
Baca Juga: MK Putuskan Pemilu Dipisah, Pakar Hukum Tata Negara Soroti Dampak Perpanjangan Masa Jabatan
Dalam Undang-Undang Pilkada sebelumnya, mensyaratkan partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki minimal 20% kursi di DPRD atau 25% dari akumulasi suara sah dalam pemilihan umum sebelumnya untuk dapat mencalonkan pasangan kepala daerah.
Dalam putusannya, MK mengubahnya menjadi ambang batas yang didasarkan pada persentase suara sah yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di setiap daerah.
"Jika pemilu DPRD dan pilkada dilangsungkan di hari yang sama, maka syarat ambang batas suara pencalonan kepala daerah sebagaimana terdapat dalam Putusan MK 60/2024 berpotensi tidak bisa diterapkan karena belum ada hasil pemilu," ujar Yusak.
Namun putusan MK itu juga memperkecil peluang kepala daerah dipilih oleh DPRD.
"Dan juga menghapuskan ambang batas pencalonan kepala daerah sebagaimana penghapusan presidential threshold menjadi nol persen. Jadi semua parpol peserta pemilu bisa saja mengajukan pasangan calon kepala daerah jika pilkada dan pemilu DPRD dilaksanakan di hari yg sama," jelasnya.
Selain itu, putusan MK yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dengan pemilu lokal berdampak positif bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). KPU dan Bawaslu setidaknya tidak lagi memiliki beban tugas yang menumpuk dan terhimpit waktu karena adanya jeda waktu tersebut.
"Bawaslu secara kelembagaan menjadi lebih kuat dan tidak terancam ad hoc. Jadi KPU Bawaslu tidak 'nganggur' pasca pemilu nasional," ujar Yusak.