Suara.com - Bagi jutaan warga yang setiap hari berjibaku dengan lalu lintas di koridor Parung, Bogor hingga Serpong, Tangerang Selatan, kabar pembangunan tol baru adalah angin surga yang telah lama dinantikan.
Proyek Tol Bogor-Serpong via Parung, yang merupakan bagian dari jaringan raksasa Jakarta Outer Ring Road (JORR) 3, digadang-gadang menjadi solusi pamungkas untuk mengurai 'neraka macet' yang telah menjadi mimpi buruk selama bertahun-tahun.
Namun, di balik janji kelancaran lalu lintas tersebut, tersimpan sebuah dilema besar. Rencana pembangunan jalan tol yang akan dibuat melayang (elevated) ini ternyata akan melintasi tepat di atas jantung perekonomian warga Desa Ciseeng: puluhan hektar tambak ikan yang telah menjadi sumber penghidupan mereka secara turun-temurun.
Mengurai Benang Kusut 'Neraka Macet' Parung
Untuk memahami urgensi proyek ini, kita harus melihat gambaran besarnya. Jalan Raya Parung saat ini adalah urat nadi yang menyambungkan tiga wilayah aglomerasi: Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kota Tangerang Selatan. Setiap hari, volume kendaraan yang melintas jauh melampaui kapasitas jalan, menyebabkan kemacetan parah yang bisa berlangsung berjam-jam.
Pembangunan Tol Bogor-Serpong diharapkan dapat:
- Memangkas Waktu Tempuh: Perjalanan yang tadinya memakan waktu 1-2 jam saat jam sibuk, diharapkan bisa dipersingkat menjadi hitungan menit.
- Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Regional: Dengan konektivitas yang lebih baik, distribusi barang dan mobilitas tenaga kerja akan menjadi lebih efisien.
- Menjadi Alternatif Vital: Tol ini akan menjadi alternatif strategis yang mengurangi beban jalan arteri dan tol lingkar yang sudah ada.
Proyek ini adalah jawaban pemerintah atas keluhan publik yang tak kunjung henti. Namun, solusi di tingkat makro ini kini berhadapan langsung dengan realitas di tingkat mikro.
'Terbang' di Atas Tambak: Ketika Solusi Bertemu Konsekuensi
Konsep jalan tol melayang dipilih untuk meminimalkan pembebasan lahan perumahan padat penduduk. Namun, pilihan ini justru mengarahkan trase tol untuk membentang di atas area tambak ikan warga Ciseeng. Di sinilah dilema itu muncul. Frasa "Ganti Macet dengan Cemas" yang digaungkan warga bukanlah tanpa alasan.
Baca Juga: Ganti Macet dengan Cemas? Tol Bogor-Serpong Akan 'Terbang' di Atas Tambak Ikan Warga Ciseeng
Kekhawatiran utama mereka sangat mendasar dan logis:
- Blokade Sinar Matahari: Konstruksi tol yang masif akan menghalangi sinar matahari yang vital bagi pertumbuhan ikan dan ekosistem tambak.
- Ancaman Polusi: Debu konstruksi, serpihan material, hingga tumpahan cairan dari kendaraan di atas tol berpotensi besar mencemari air tambak dan membunuh ikan.
- Polusi Suara: Kebisingan konstan dari ribuan kendaraan yang melintas di atas kepala akan mengganggu ketenangan dan kenyamanan lingkungan hidup mereka.
- Kehilangan Mata Pencaharian: Jika tambak mereka tidak lagi produktif, warga terancam kehilangan satu-satunya sumber pendapatan yang telah mereka geluti sejak lama.
Ini adalah potret klasik dari pedang bermata dua pembangunan: satu sisi menawarkan kemajuan, sisi lain menuntut pengorbanan.
Tantangan Mitigasi dan Keadilan Pembangunan
Kasus Ciseeng menjadi ujian nyata bagi pemerintah dan pelaksana proyek. Pertanyaannya bukan lagi "apakah tol ini perlu dibangun?", melainkan "bagaimana membangun tol ini secara adil dan berkelanjutan?".
Pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk merancang skema mitigasi yang efektif. Ini bisa berupa teknologi konstruksi yang ramah lingkungan, sistem drainase tertutup untuk mencegah polusi jatuh ke tambak, hingga pemasangan peredam suara.