Suara.com - Dalam pemeriksaan toksikologi kematian Diplomat Kementerian Luar Negeri Arya Daru Pangayunan (ADP).
Tim ahli menerima delapan jenis sampel biologis milik ADP, yaitu otak, empedu, limpa, hati, ginjal, lambung, darah, dan urin.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan senyawa toksin, termasuk obat-obatan kimia, pestisida, arsenik, maupun narkoba.
Hasilnya, seluruh organ dan cairan tubuh tidak mengandung senyawa berbahaya seperti pestisida, arsenik, atau narkoba.
Namun, di otak korban ditemukan kandungan parasetamol, sedangkan di ginjal, lambung, darah, dan urin terdeteksi CTM (chlorpheniramine), yang umumnya digunakan sebagai obat antihistamin.
CTM atau Chlorpheniramine Maleate adalah salah satu obat yang cukup dikenal luas dan sering digunakan untuk membantu meredakan gejala alergi.
Meski terdengar sederhana, peran CTM dalam dunia medis cukup penting, terutama untuk mengurangi rasa tidak nyaman akibat reaksi alergi.
CTM termasuk dalam golongan antihistamin generasi pertama. Obat ini bekerja dengan cara menghambat efek histamin, yaitu senyawa alami dalam tubuh yang dilepaskan ketika tubuh bereaksi terhadap zat asing seperti debu, serbuk sari, atau makanan tertentu.
Ketika histamin dilepaskan, seseorang dapat mengalami gejala seperti gatal, bersin, hidung tersumbat, atau mata berair.
Baca Juga: Polisi Bicara Alat Kontrasepsi di Tas dan Kresek, Apa Hubungannya dengan Bunuh Diri Arya Daru?
Nah, CTM membantu mengurangi gejala tersebut sehingga penderitanya merasa lebih nyaman.
CTM umumnya tersedia dalam bentuk tablet, sirup, atau kapsul, dan biasanya dikonsumsi sesuai anjuran dokter.
Penggunaannya cukup luas, mulai dari mengatasi rinitis alergi (pilek karena alergi), urtikaria (biduran), hingga membantu meredakan gatal-gatal pada kulit akibat alergi tertentu.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari CTM adalah efek sampingnya. Karena termasuk antihistamin generasi pertama, CTM dapat menyebabkan kantuk cukup signifikan.
Oleh sebab itu, biasanya disarankan untuk dikonsumsi pada malam hari atau ketika seseorang tidak sedang beraktivitas yang memerlukan konsentrasi tinggi, seperti mengemudi atau mengoperasikan mesin.
Selain rasa kantuk, efek samping lain yang dapat muncul antara lain mulut kering, pusing, penglihatan kabur, atau sulit buang air kecil, meski biasanya bersifat ringan dan jarang terjadi jika digunakan sesuai dosis.
Bagi orang yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, seperti glaukoma atau gangguan prostat, penggunaan CTM juga harus lebih hati-hati dan sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan tenaga medis.
CTM juga sebaiknya tidak diberikan kepada anak-anak di bawah usia tertentu atau ibu hamil tanpa petunjuk dokter, karena meski cukup aman pada umumnya, tetap ada risiko tertentu yang perlu dipertimbangkan.
Meski mudah ditemukan di apotek dan sering dianggap sebagai “obat ringan,” penting untuk tetap menggunakan CTM sesuai anjuran dosis dan petunjuk pemakaian.
Penyalahgunaan atau penggunaan berlebihan dapat memicu efek samping yang tidak diinginkan.
Pada akhirnya, CTM adalah salah satu contoh bagaimana perkembangan ilmu farmasi membantu banyak orang mengatasi alergi.
Namun, bijak dan hati-hati dalam penggunaannya adalah kunci agar manfaatnya dapat dirasakan secara optimal dan aman.