Suara.com - Kasus pemerkosaan dengan pelaku seorang anak SD di Kota Bekasi, Jawa Barat terus menjadi sorotan. Mirisnya, korban dari kasus ini adalah seorang anak balita.
Perkembangan kasus ini mendapatkan atensi publik, termasuk melalui media sosial. Baru-baru ini, salah seorang warganet mempertanyakan apa hukuman yang tepat, terutama yang memberikan keadilan bagi korban yang kabarnya masih balita dan kelaurga.
Berdasarkan laporan warganet yang disebut mengutip catatan dari orang tua korban, kecurigaan orang tua bermula ketika korban mendadak tidak mau lagi datang ke masjid. Kebiasaan ini berbeda dari biasanya. Bocah tersebut biasanya bersemangat ketika mendengarkan azan dan langsung lari ke masjid sambil membawa sarung.
Saat ibunya bertanya mengapa kebiasaan tersebut lenyap, sang anak memberi pengakuan mengejutkan. Dia mengaku bahwa ada anak lain yang berusia kurang dari 12 tahun memasukkan alat kelaminnya.
Merujuk pada penuturan ibu korban melalui akun Instagram pribadi, ibu korban menuturkan,"Hari ini saya menerima keputusan pengadilan. Pelaku hanya dihukum rehabilitasi 6 bulan. Hukum tidak memberi saya ruang untuk berjuang lebih jauh. Tapi saya tidak ikhlas! Anak saya trauma seumur hidup, pelaku hanya direhab 6 bulan. Ini bukan keadilan, ini penghinaan."
Ibu korban, NDP berharap, alasan di bawah umur bukan alasan bagi hukum untuk tidak berpihak kepada korban. "Terlalu banyak korban yang tidak mendapatkan keadilan dengan alasan pelaku masih di bawah umur. Tidak boleh ada lagi ibu korban seperti saya, tidak boleh ada lagi monster yang yang dilindungi dengan celah hukum!" ujarnya, melalui akun media sosial miliknya.
Pemerkosaan dengan pelaku dan korban sama-sama anak di bawah umur ini menarik perhatian warganet. Mereka pun melontarkan sejumlah komentar. “Semua perlu rehab psikososial: anak pelaku, anak korban, keluarga pelaku, dan keluarga korban. Coba tanya ke DP3A itu, apakah bisa kasih layanan konseling ke keluarga juga? Komdigi juga harusnya peka soal begini: internet diakses oleh anak,” ujar seorang netizen.
“Semua perlu rehab psikososial: anak pelaku, anak korban, keluarga pelaku, dan keluarga korban. Coba tanya ke DP3A itu, apakah bisa kasih layanan konseling ke keluarga juga? Komdigi juga harusnya peka soal begini: internet diakses oleh anak,” ujar yang lain.
Sementara itu, dalam makalah National Conference For Law Studies yang diterbitkan UPN Veteran Jakarta menyatakan sistem peradilan pidana anak dilaksanakan dengan berdasarkan asas:17 Perlindungan; Keadilan; Nondiskriminasi; Kepentingan terbaik bagi anak; Penghargaan terhadap pendapat anak; Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; Pembinaan dan pembimbingan anak; Proporsional; Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan Penghindaran pembalasan.
Baca Juga: Cara Lapor Pelanggaran SPMB kota Bekasi, Bisa Laporkan Rekayasa Zonasi
Bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum berdasar kepada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang memberikan perlindungan kepada anak dalam tahap penangkapan dan penahanan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pembinaan, dan melalui penerapan diversi.
Pada praktek yang dipersidangan jaksa ataupun hakim untuk menuntut ataupun memutuskan perkara anak pelaku selalu saja memberikan hukuman badan atau penjara anak. Seharusnya untuk anak pelaku korban pemerkosaan dan sesuai Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPP Anak). Jika merujuk pada restoratif justice, yang memberikan sanksi-sanksi untuk pertanggungjawabannya di lakukan pembinaan ke balai pelatihan anak guna mendapatkan pendidikan yang layak sesuai UUD 45 alinia ke 4 yaitu secara tegas dinyatakan bahwa negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Salah satu peraturan yang menarik dicermati dan didiskusikan adalah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPP Anak). Peraturan a quo memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan KUHAP, bahkan boleh dikatakan memperkenalkan pranata hukum baru dalam peradilan pidana yakni diversi dan keadilan restoratif (restorative justice). Suatu konsep yang berkembang yang melibatkan korban di dalamnya disebut restorative justice.
Pelaku tindak pidana anak yang sedang menunggu proses peradilan mendapatkan penambahan masalah dalam sisi moril dan psikis. Namun yang menjadi permasalahan penting untuk dikaji yaitu bagaimana proses peradilan pidana yang harus dihadapi dan bagaimana penerapan perlindungan hukum yang dilakukan dalam proses pemeriksaan perkara pidana anak yang masih rentan kemampuan fisik dan mentalnya.
Lebih jauh, hukum seharusnya bisa melihat dari sisi kacamata tertinggi. Bagaimana dampak besar kasus ini terutama terhadap korban, dan masa depannya. Tanpa menutup mata terhadap pelaku, hukum di Indonesia diharapkan bisa terus beradaptasi dengan perkembangan jaman dan tantangan yang terus datang. Seperti dalam kasus ini, terkait bagaimana celah kerentanan hukum terhadap umur pelaku menjadi tekanan yang berat bagi keluarga korban.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni