Suara.com - Presiden Prabowo Subianto turut memberikan pengampunan atau amnesti terhadap Yulianus Paonganan alias Ongen, narapidana kasus penghinaan terhadap presiden ketika rezim Joko Widodo alias Jokowi.
Nama Yulianus Paonganan ternyata masuk dalam daftar amnesti massal kepada 1.178 orang melalui keputusan presiden (keppres).
Kebijakan ini memang menyentuh berbagai lapisan masyarakat, dari narapidana kasus narkotika hingga tahanan politik, dan secara mengejutkan mencakup nama-nama besar di kancah politik nasional seperti Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Menteri Hukum (Menkum), Supratman Andi Agtas, mengonfirmasi pengampunan terhadap penghina Jokowi itu dalam konferensi pers yang digelar di kantornya di Jakarta pada Jumat (1/8/2025) malam.
Dalam kesempatan tersebut, Supratman meluruskan jumlah penerima amnesti yang sebelumnya ia sebutkan.
“Kemarin jumlahnya ada yang saya salah sebutkan, ya, kalau amnesti itu jumlahnya 1.178,” kata Supratman, mengoreksi pernyataannya sehari sebelumnya di kompleks parlemen yang menyebut angka 1.116 orang.
Menurut Supratman, sebagian besar data ini berasal dari validasi yang dilakukan oleh Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas).
Tentu saja, publik sontak terfokus pada beberapa nama tenar yang masuk dalam daftar. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah Hasto Kristiyanto.
Sekjen PDI Perjuangan ini merupakan terdakwa dalam kasus dugaan suap yang melibatkan buronan Harun Masiku, yang telah bergulir selama bertahun-tahun dan sarat akan intrik politik.
Baca Juga: Bebas Penjara, Tom Lembong Akui Abolisi Prabowo jadi Keputusan Berat, Mengapa?
Pemberian amnesti untuk Hasto menandai babak baru dalam penyelesaian kasus yang menjeratnya.
Selain Hasto, amnesti juga diberikan kepada Yulianus Paonganan, yang lebih dikenal di media sosial sebagai 'Ongen'.
Yulianus merupakan terpidana dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atas tuduhan penghinaan terhadap kepala negara pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Semua berawal dari sebuah unggahan Ongen di media sosial Twitter dan Facebook.
Pada Desember 2015, Yulianus membagikan sebuah foto yang menampilkan Presiden Joko Widodo sedang duduk bersama artis Nikita Mirzani.
Namun, yang membuat unggahan itu menjadi perkara hukum adalah narasi yang menyertainya.
Yulianus menambahkan tulisan dan tagar yang dinilai mengandung unsur pornografi dan penghinaan terhadap Jokowi.
Ia menuliskan tagar #papadoyanl***e dan mengulanginya hingga lebih dari 200 kali.
Konten ini dengan cepat menyebar luas, memicu kemarahan dari para pendukung Presiden Jokowi dan menarik perhatian aparat penegak hukum.
Tidak hanya amnesti, pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo juga memberikan abolisi.
Mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, menjadi penerima abolisi terkait statusnya sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
Abolisi, yang berarti penghentian proses hukum, secara efektif mengakhiri penuntutan terhadap Tom Lembong.
“Kepresnya berlaku sejak 1 Agustus dan alhamdulillah saya dapat laporan tadi Menteri Imipas sudah menjalankan yang memang harus ditindaklanjuti tadi, tentu berkoordinasi dengan para eksekutor dari pelaksanaan pelepasan kalau masih dalam status tahanan,” ucap Supratman menjelaskan proses eksekusi pasca-penerbitan Keppres.
Kemanusiaan dan Politik Jadi Pertimbangan
Kebijakan amnesti ini tidak hanya menyasar tokoh politik. Supratman merinci bahwa pertimbangan kemanusiaan menjadi salah satu pilar utama dalam pengambilan keputusan ini.
Berdasarkan data, penerima amnesti mencakup beragam latar belakang kasus dan kondisi personal.
“Ada pengguna narkotika. Kemudian, ada makar tanpa senjata yang di Papua sebanyak enam orang,” ujar Menkum.
Langkah ini bisa dilihat sebagai upaya rekonsiliasi dan pendekatan baru dalam menangani isu sensitif di Papua.
Lebih lanjut, aspek kemanusiaan sangat kental terasa dari rincian penerima amnesti lainnya. Pemerintah memberikan pengampunan kepada narapidana dengan kondisi kesehatan dan usia yang rentan.
“Ada orang dalam gangguan jiwa 78 orang. Kemudian, penderita paliatif 16 orang. Kemudian, ada yang disabilitas dari sisi intelektual satu orang. Kemudian, usia yang lebih dari 70 tahun, 55 orang,” tutur Supratman.
Pemberian amnesti dan abolisi ini menjadi salah satu kebijakan hukum terbesar yang diambil di awal pemerintahan Prabowo Subianto, mengirimkan sinyal kuat tentang arah rekonsiliasi politik dan penekanan pada aspek kemanusiaan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Langkah ini diprediksi akan terus menjadi sorotan dan perbincangan hangat di kalangan publik, praktisi hukum, dan pengamat politik dalam beberapa waktu ke depan.