Suara.com - Sebuah unggahan viral yang mengaitkan konsumsi sayuran hijau dengan penyakit gagal ginjal di usia muda memicu kehebohan di media sosial.
Namun, di tengah kepanikan dan misinformasi yang berpotensi menyebar, seorang ahli gizi muncul di kolom komentar untuk memberikan sanggahan yang cerdas dan elegan, mengubah diskusi menjadi momen edukasi publik yang berharga.
Kisah ini berawal ketika seorang perempuan berusia 20 tahun membagikan pengalamannya yang disebutnya sebagai mimpi buruk.
Ia mengklaim kebiasaannya rajin mengonsumsi sayuran hijau seperti bayam, kangkung, dan sawi, justru membuatnya divonis menderita gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah.
Ia menuding kandungan purin yang tinggi pada sayuran-sayuran tersebut sebagai penyebab utama kadar asam uratnya meroket, yang kemudian merusak fungsi ginjalnya.
"Sering makan sayur hijau biar sehat, tapi justru bolak balik rumah sakit di usia muda," tulisnya, seraya menunjukkan foto tangannya yang terpasang infus.

Klaimnya yang dramatis ini sontak membuat banyak warganet khawatir dan mempertanyakan keamanan mengonsumsi sayuran.
Namun, di tengah riuhnya komentar, seorang ahli gizi mengambil langkah proaktif untuk menjernihkan suasana.
Tanpa menyerang atau merendahkan, ia memulai sanggahannya dengan kalimat yang santun.
Baca Juga: Isi Surat Pilu Pemuda Gagal Ginjal: Maaf Jadi Beban, Pilih Pergi usai Ditinggal Pacar
"Halo, aku ahli gizi, izin sedikit meluruskan yaa," tulisnya, langsung menarik perhatian dan menetapkan nada diskusi yang konstruktif.
Dengan tenang, ia membenarkan bahwa sayuran hijau memang mengandung purin, namun ia segera membantah bahwa sayuran adalah sumber tertinggi.
"Kandungan purin tertinggi itu bukan pada sayuran hijau," tegasnya.
Ia kemudian menyajikan fakta yang sering dilupakan banyak orang yang menjadi penyebab utama seseorang menglami purinnya tinggi.
"Makanan tinggi purin justru dari protein hewani seperti jeroan (otak, ati, limpa, paru, usus, babat dll), seafood," jelasnya, memberikan daftar konkret yang mudah dipahami.
Tidak berhenti di situ, sanggahan elegannya berlanjut dengan mengajak si pengunggah dan warganet untuk melihat gambaran yang lebih besar, bukan menyalahkan satu kambing hitam.
"Coba deh jangan nyalahin tok sayurannya. Diinget-inget makan makanan tinggi purin lain nggak? Terus sering jajan UPF (Ultra-Processed Food) nggak? Makan manis dan lain-lain dan jarang olahraga nggak?" tanyanya retoris.
Pertanyaan-pertanyaan ini secara efektif mengalihkan fokus dari ketakutan irasional terhadap sayuran ke pentingnya introspeksi terhadap gaya hidup secara menyeluruh.
Ia menutup penjelasannya dengan menyoroti dampak bahaya dari misinformasi tersebut.
"Nanti misinformasi jadi bikin orang nggak mau makan sayur lagi," pungkasnya, menunjukkan kepeduliannya pada kesehatan masyarakat luas.

Cara ahli gizi tersebut memberikan sanggahan dengan data, tanpa drama, dan penuh empati menuai banyak pujian dari warganet.
Banyak yang setuju bahwa menyalahkan satu jenis makanan adalah penyederhanaan yang berbahaya. Komentar seperti,
"Segala sesuatu yang berlebihan tidak baik," dan "Pentingnya gizi seimbang," akhirnya lebih mendominasi kolom komentar.
Intervensi elegan ini berhasil mengubah narasi dari kepanikan menjadi pembelajaran, mengingatkan semua orang bahwa kesehatan ginjal dan tubuh secara keseluruhan bergantung pada pola hidup yang seimbang, bukan sekadar menghindari sayuran.