Suara.com - Gaji fantastis yang diterima para komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kelas 1 kembali menjadi sorotan publik.
Sejumlah warganet ramai-ramai meluapkan kegeraman mereka di media sosial usai beredar informasi bahwa gaji dan bonus yang diterima komisaris bisa menyentuh angka hingga ratusan miliar rupiah per tahun.
Tidak sedikit yang mempertanyakan kontribusi nyata para pejabat tinggi tersebut terhadap kemajuan perusahaan negara, sementara kondisi ekonomi masyarakat masih penuh tantangan.
Salah satu komentar warganet yang viral menyindir keras pengelolaan anggaran negara.
"Penghematan anggaran buat rakyat, pemborosan itu berlaku untuk para pejabat. Waktunya balas jasa sesudah pilpres. Merampok uang rakyat," tulis akun tersebut, merujuk pada dugaan pola politik balas budi.
Komentar lain menyentil keras ketimpangan sosial dan beban pajak masyarakat.
"Lalu mereka kontribusinya apa ya? Sementara rakyat diminta bayar pajak dari segala sisi, mereka malah terima fasilitas tanpa ukuran," ujar netizen.
Pernyataan semacam ini mencerminkan keresahan publik terhadap transparansi dan akuntabilitas sistem penggajian di BUMN, terlebih ketika sejumlah perusahaan pelat merah tercatat mengalami kerugian.
"Gajinya ratusan juta hingga miliaran, tapi kenapa hampir semua BUMN selalu merugi?" tanya seorang warganet.
Baca Juga: Tantiem Komisaris Dihapus, Kompensasi Dirombak! Danantara Kangkangi Aturan Menteri BUMN
Cek Fakta: Gaji Komisaris BUMN Memang Bisa Mencapai Ratusan Miliar
Dugaan soal gaji fantastis para komisaris BUMN bukan sekadar isapan jempol.
Berdasarkan data dari laporan keuangan dan peraturan yang berlaku, potensi pendapatan komisaris di BUMN kelas kakap memang bisa menembus angka yang mencengangkan.
Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023.
Regulasi tersebut mengatur struktur honorarium, tunjangan, dan tantiem (bonus kinerja) yang diterima oleh para komisaris. Komposisinya bergantung pada kinerja dan keuntungan perusahaan.
Misalnya, Komisaris Utama berhak atas 45 persen dari gaji direktur utama, sementara wakilnya menerima 42,5 persen. Anggota komisaris lain mendapat 90 persen dari honorarium komisaris utama.
Di luar itu, masih ada THR, tunjangan transportasi, hingga fasilitas kesehatan yang mencakup keluarga inti.
Namun yang paling membuat angka melambung adalah tantiem, bonus tahunan yang diberikan berdasarkan kinerja perusahaan. Di sinilah letak potensi penghasilan hingga ratusan miliar itu.
Data Remunerasi Komisaris di BUMN Besar
Beberapa contoh konkret dari laporan keuangan resmi BUMN menunjukkan angka yang sangat besar:
- PT Pertamina (Persero): Remunerasi komisaris disebut mencapai Rp106 miliar per tahun.
- PT Bank Rakyat Indonesia (BRI): Komisaris bisa mengantongi hingga Rp22 miliar per tahun.
- PT Bank Mandiri (Persero): Rata-rata remunerasi komisaris Rp2,5 miliar per tahun.
- PT Telkom Indonesia (Persero): Rata-rata remunerasi mencapai Rp1,6 miliar per bulan.
- PT Kereta Api Indonesia (KAI): Total honorarium pada 2022 mencapai Rp14,06 miliar, dengan tantiem Rp9,37 miliar dan THR Rp886 juta.
Sebagai pembanding, di sektor swasta, komisaris utama PT Bank Central Asia (BCA) mendapatkan sekitar Rp2,5 miliar per bulan, sedangkan di Astra International (ASII) sekitar Rp1,8 miliar per bulan.
Artinya, beberapa BUMN bahkan menawarkan paket lebih tinggi dari perusahaan swasta terbesar sekalipun.
Wajarkah Gaji Selangit Ini?
Menurut regulasi dan perspektif manajemen korporat, tingginya remunerasi disebut sebagai bentuk penghargaan atas tanggung jawab dan kinerja pengawasan terhadap perusahaan. Semakin tinggi keuntungan, semakin besar pula insentifnya.
Namun, kenyataan bahwa beberapa BUMN mencatat kerugian menimbulkan kritik tajam.
Publik menilai bahwa bonus tinggi tidak pantas diberikan bila kinerja tidak sebanding, apalagi jika menggunakan dana dari APBN secara langsung maupun tidak langsung.
Remunerasi para komisaris BUMN memang sah secara regulasi, tapi itu belum cukup menjawab keresahan masyarakat soal keadilan dan transparansi.
Jika kinerja BUMN stagnan atau justru merugi, publik berhak mempertanyakan logika pemberian bonus dan tunjangan yang begitu besar.
Ke depan, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem remunerasi pejabat BUMN agar sesuai prinsip akuntabilitas dan keadilan sosial.
Terlebih, BUMN seharusnya menjadi lokomotif kesejahteraan rakyat, bukan ladang kekayaan segelintir elite.
Kontributor : Chusnul Chotimah