Ketika Rumah Ahmad Sahroni Dijarah: Arogansi, Pengabaian, dan Amarah yang Terpendam

Minggu, 31 Agustus 2025 | 08:28 WIB
Ketika Rumah Ahmad Sahroni Dijarah: Arogansi, Pengabaian, dan Amarah yang Terpendam
Barang-barang yang dijarah dari rumah Ahmad Sahroni [Dokumentasi warga]

Suara.com - Baca 10 detik

  • Meme Sahroni disandingkan sejarah kejatuhan raja.
  • Louis XVI dan Tsar Nikolai runtuh abaikan rakyat.
  • Sejarah ingatkan elite jangan remehkan suara publik.

Jagat media sosial Indonesia kembali diramaikan dengan sebuah meme satire yang menyandingkan keluhan politisi dengan peristiwa sejarah dunia yang kelam.

Kali ini, potongan video Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, dijadikan meme dengan pesan "Rumah gw dijarah..." menjadi bulan-bulanan kreativitas warganet.

Kisah Sahroni ini hingga itu disejajarkan dengan potret Raja Louis XVI dari Prancis dan Tsar Nikolai II dari Rusia, dua monarki absolut yang berakhir tragis di tangan rakyatnya sendiri.

Meme tersebut seolah menyuarakan sentimen, "Lu mah mending, lah gw?" dari kedua tokoh sejarah itu, sebuah sindiran tajam yang menggarisbawahi betapa berbahayanya ketika elite politik dianggap terputus dari realitas rakyatnya.

Konteks pernyataan Ahmad Sahroni sendiri terjadi saat menyebut orang yang ingin membubarkan DPR adalah orang yang tidak berpendidikan atau orang bodoh yang ia sebut "Tol****".

Sentimen ketidakpuasan publik terhadap para pejabat pun kian memanas dan gelombang aksi demo  hingga kerusuhan yang tak terbendung. 

Meme ini bukan sekadar lelucon, melainkan sebuah refleksi dan peringatan historis yang kuat, sebagaimana diulas oleh akun edukasi sejarah Neohistoria neohistoria.id yang menjadi inspirasi perbincangan ini.

Kisah kejatuhan Louis XVI dan Nikolai II adalah pelajaran abadi tentang arogansi kekuasaan dan pengabaian terhadap suara rakyat.

Baca Juga: Terungkap Alasan Lille Ngotot Datangkan Calvin Verdonk

Cermin Sejarah: Ketika Istana Tak Lagi Mendengar Jeritan Rakyat

Meme yang menyadingkan Ahmad Sahroni dengan pemimpin di Rusia dan Prancis. [Instagram/neohistoria.id]
Meme yang menyadingkan Ahmad Sahroni dengan mantan pemimpin di Rusia dan Prancis. [Instagram/neohistoria.id]

Para pejabat tidak boleh meremehkan kekuatan rakyat, sebuah pelajaran yang dapat dipetik dari nasib tragis nan memilukan Raja Louis XVI dari Prancis dan Tsar Nikolai II dari Rusia.

Analisis sejarah menunjukkan pola yang sama: kegagalan elite mengatasi penderitaan rakyat yang meluas, mulai dari kelaparan, kemiskinan, hingga tuntutan reformasi politik yang tak kunjung didengar.

Louis XVI, yang hidup terasing dalam kemewahan Istananya di Versailles, tercatat meremehkan gejolak awal Revolusi Prancis.

Ia terlambat menyadari bahwa kemarahan rakyat yang dipicu oleh krisis ekonomi dan ketidakadilan sosial telah mencapai titik didih.

Akhir hidupnya di pisau guillotine menjadi simbol runtuhnya monarki yang tuli terhadap aspirasi warganya.

Serupa tapi tak sama, Tsar Nikolai II di Rusia juga mengabaikan seruan untuk perubahan, bahkan setelah peringatan keras melalui Revolusi 1905.

Keterlibatannya dalam Perang Dunia I yang membawa bencana kelaparan dan kerugian besar semakin mengikis legitimasinya.

Ketidakpedulian terhadap penderitaan rakyat inilah yang memicu Revolusi Bolshevik, yang tidak hanya menggulingkan kekuasaannya tetapi juga mengeksekusi seluruh keluarganya secara brutal.

Menurut sejarawan Orlando Figes dalam karyanya, A People's Tragedy: The Russian Revolution 1891-1924, kejatuhan Tsar adalah akumulasi dari "krisis kepercayaan yang mendalam" antara penguasa dan rakyatnya.

Relevansi bagi Indonesia: Peringatan di Tengah Potensi Gejolak

ilustrasi demo (Suara.com/Alfian Winanto)
ilustrasi demo (Suara.com/Alfian Winanto)

Kisah Louis XVI dan Nikolai II menjadi peringatan keras bahwa legitimasi seorang pemimpin tidak hanya bergantung pada kemenangan elektoral, tetapi pada kesejahteraan dan persetujuan dari rakyat yang diperintahnya.

Ketika para penguasa menutup mata terhadap keluhan warganya—baik soal kenaikan harga kebutuhan pokok, sulitnya lapangan kerja, hingga kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat—mereka tidak hanya menabur benih ketidakpuasan, tetapi juga mempertaruhkan stabilitas sosial.

Dalam konteks Indonesia saat ini, di mana kritik publik seringkali deras mengalir di media sosial dan aksi massa menjadi pemandangan yang tak asing, pelajaran ini menjadi sangat relevan.

Insiden-insiden seperti perusakan fasilitas umum atau bahkan penjarahan kantor-kantor pemerintahan saat demonstrasi besar adalah sinyal bahaya. Itu adalah manifestasi dari kemarahan kolektif yang, jika terus diabaikan, berpotensi membesar.

Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa rakyat, jika didorong terlalu jauh oleh pengabaian dan kesombongan para pejabatnya, memiliki kapasitas untuk bangkit dan meruntuhkan tatanan yang ada.

Oleh karena itu, mengabaikan suara rakyat adalah sebuah pertaruhan berbahaya yang dapat berujung pada kejatuhan yang dahsyat, sebagaimana dibuktikan oleh akhir yang mengenaskan dari dua monarki yang pernah sangat berkuasa ini.

×
Zoomed

VIDEO TERKAIT

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Mau notif berita penting & breaking news dari kami?