Usut Kericuhan Demo, Negara Harus Lakukan Investigasi Independen Libatkan Tokoh Berintegritas

Jum'at, 05 September 2025 | 13:59 WIB
Usut Kericuhan Demo, Negara Harus Lakukan Investigasi Independen Libatkan Tokoh Berintegritas
Presiden Prabowo Subianto usai menjenguk korban dari demo ricuh baik dari kalangan petugas kepolisian maupun masyarakat yang dirawat di RS Bhayangkara, Jakarta Timur. [Suara.com/Novian]
Baca 10 detik
  • Investigasi independen tersebut perlu dilakukan negara dengan melibatkan masyrakat yang memiliki integritas dan keahlian
  • Pernyataan Presiden Prabowo yang memunculkan label “anarkis”, “makar” atau bahkan “terorisme” menjadi sorotan
  • Pemerintah diharapkan dapat mengevaluasi kebijakan sosial dan ekonomi yang merugikan hak masyarakat.

Suara.com - Amnesty International Indonesia menilai penting pembentukan tim pencari fakta atau Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk melakukan investigasi independen mengenai kerusuhan demo pada akhir Agustus 2025.

Melalui keterangannya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid memandang investigasi independen tersebut perlu dilakukan negara dengan melibatkan masyrakat yang memiliki integritas dan keahlian.

"Negara seharusnya melakukan investigasi independen yang melibatkan tokoh-tokoh dan unsur masyarakat yang memiliki integritas dan keahlian," kata Usman dalam keterangannya, dikutip Jumat (5/9/2025).

Amnesty International Indonesia menyampaikan bahwa Komnas HAM harus segera melakukan penyelidikan projustiti atas terbunuhnya sepuluh warga sipil selama aksi untuk rasa.

"Negara harus mau bekerja sama dengan Komnas HAM dalam memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kematian ini dapat dimintai pertanggungjawaban," kata Usman.

Amnesty International Indonesia menyoroti pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang memunculkan label “anarkis”, “makar” atau bahkan “terorisme”.

Padahal, pemerintah diharapkan dapat mengevaluasi kebijakan sosial dan ekonomi yang merugikan hak masyarakat, termasuk memastikan akuntabilitas polisi.

"Kepolisian negara berwenang menindak setiap peristiwa pidana namun harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip HAM. Pelabelan “anarkisme”, “terorisme” maupun “makar” berpotensi mengeskalasi pendekatan keamanan dan membenarkan penggunaan kekuatan yang lebih represif dan eksesif lagi," kata Usman.

Amnesty International Indonesia menekankan bahwa negara semestinya hadir dengan manusiawi, yaitu mendengarkan tuntutan warga, menghormati kebebasan berekspresi, serta menegakkan hukum secara adil.

Baca Juga: Fenomena Jolly Roger Jelang 17-an: Simbol Pop Kultur Jadi Kritik dan Diburu Aparat

"Tanpa itu, pernyataan presiden hari Minggu lalu bahwa ‘negara menghormati dan terbuka terhadap kebebasan penyampaian pendapat dan aspirasi masyarakat’ hanya slogan kosong yang dikubur oleh praktik otoriter melanggar HAM," kata Usman.

Pernyataan Amnesty International Indonesia agar negara melakukan investigasi independen dalam hal merespons bertambahnya jumlah kematian terkait unjuk rasa dan penangkapan atas aktivis HAM serta penembakan gas air mata polisi ke sejumlah Kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan di Bandung.

Amnesty International Indonesia menyesalkan bertambahnya jumlah kematian terkait unjuk rasa pekan lalu, begitu pula dengan penangkapan Delpedro Marhaen di Jakarta, Khariq Anhar di Banten, Syahdan Husein di Bali dan dua pendamping hukum dari YLBHI masing-masing di Manado dan Samarinda.

Bahkan terakhir, kata Usman, muncul gejala pengerahan Pam Swakarsa yang dapat mendorong konflik horisontal di masyarakat.

"Ini semua menunjukkan negara memilih pendekatan otoriter dan represif daripada demokratik dan persuasif. Tuduhan pun memakai pasal-pasal karet yang selama ini dikenal untuk membubuhkan kritik. Ini harus dihentikan. Bebaskanlah mereka," kata Usman.

Usman mengatakan negara harus mengoptimalkan pendekatan pemolisian demokratis, persuasif dan dialog dengan pengunjuk rasa, sebagaimana saran Kantor HAM PBB.

"Ancaman hukuman hanya memicu eskalasi ketegangan antara kepolisian dan pengkritik. Mereka berhak berkumpul dan menyampaikan pendapat di depan umum. Itu adalah hak asasi manusia. Sekali lagi, kami mendesak Polri membebaskan Delpedro, Syahdan dan ratusan pengunjuk rasa lainnya yang ditangkap hanya karena bersuara kritis sejak 25 Agustus," ujarnya.

Amnesty International Indonesia mengecam keras penembakan gas air mata ke arah kampus Unisba dan Universitas Pasundan yang dipakai sebagai posko medis bagi pengunjuk rasa atau menjadi korban kekerasan.

"Gas air mata itu membahayakan keselamatan warga sipil yang ada di dalam maupun di sekitar kedua kampus tersebut. Penggunaan gas air mata yang berlebihan bisa mengakibatkan luka fatal dan bahkan kematian seperti Tragedi Kanjuruhan," kata Usman.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Mau notif berita penting & breaking news dari kami?