- Didik J. Rachbini menilai pengalihan dana Rp 200 triliun ke bank untuk kredit melanggar konstitusi dan UU Keuangan Negara
- Alokasi dana publik harus melalui prosedur APBN dan persetujuan DPR, bukan keputusan sepihak pemerintah
- Tindakan ini dinilai berbahaya karena bisa menjadi preseden penyalahgunaan anggaran negara di masa depan
Suara.com - Ekonom senior Didik J. Rachbini menilai, kebijakan pemerintah yang mengalihkan dana Rp 200 triliun ke perbankan untuk disalurkan dalam bentuk kredit, telah menjadi pelanggaran serius terhadap aturan ketatanegaraan.
Menurut Didik, alokasi dana publik tidak bisa dilakukan secara spontan tanpa melalui prosedur yang sudah diatur oleh konstitusi dan undang-undang.
"Melanggar prosedur yang diatur oleh Undang-undang Keuangan Negara dan Undang-Undang APBN, yang didasarkan pada Undang-Undang dasar," kata Didik dalam keterangannya, Selasa (16/9/2025).
Ia merinci, tata cara penyusunan, penetapan, dan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah diatur jelas melalui UUD 1945 Pasal 23, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, serta UU APBN setiap tahun.
Karena itu, pejabat negara, baik menteri maupun presiden, tidak bisa mengambil keputusan sepihak terkait penempatan dana publik.
"Anggaran negara bukan anggaran privat atau anggaran perusahaan. Alolaksi anggaran negara tidak bisa dijalankan atas perintah menteri atau perintah presiden sekalipun," tegasnya.
Didik menekankan bahwa penempatan dana pemerintah di bank umum hanya diperuntukkan bagi operasional APBN sesuai jumlah dan penggunaannya yang telah disetujui DPR.
Penyaluran dana ke industri lewat skema kredit umum, kata dia, sama sekali tidak memiliki landasan hukum.
"Meskipun tujuannya baik, penempatan anggaran publik (dana pemerintah) di perbankan melenceng dari amanah Pasal 22 khususnya ayat 8 dan 9 UU No. 1/2004 tersebut," kata Didik.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Guyur Bank BUMN Rp200 Triliun, Para Bos Himbara Disebut Pusing Tujuh Keliling
Lebih jauh, Didik mengingatkan bahwa jika prosedur ketatanegaraan ini diabaikan, hal tersebut bisa menjadi preseden berbahaya di masa depan di mana anggaran publik digunakan semaunya.