-
- BRIN mendorong pemanfaatan teknologi geoinformatika untuk penelitian dan pengelolaan laut.
- Ocean color science digunakan untuk memantau kualitas air, tingkat klorofil, dan produktivitas laut.
- Kolaborasi riset dan teknologi seperti UAV dan satelit memperkuat observasi laut Indonesia.
Suara.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kini semakin akitf mendorong pemanfaatan teknologi geoinformatika dalam proses penelitian dan pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia.
Melalui pendekatan ocean color science, dimana pendekatan tersebut mampu memberikan informasi geospasial penting mengenai tingkat klorofil, kualitas air, serta produktivitas ekosistem laut.
Sehingga data yang dihasilkan nantinya tidak hanya digunakan untuk keperluan riset akademis, tetapi juga menjadi dasar pengambilan kebijakan kelautan yang berkelanjutan.
Kepala Pusat Riset Geoinformatika (PRGI) BRIN, Muhammad Rokhis Khomarudin, menjelaskan “Bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar, kemampuan untuk memproses dan menginterpretasikan data ocean color melalui geoinformatika sangatlah penting dan mendukung ketahanan pesisir, keberlanjutan kelautan, dan ekonomi biru,” ujar Rokhis dalam Webinar BRIGHTS bertema “Ocean Color Science for Utilization and Decision-Making”, Kamis (9/10/2025) lalu.
![Gedung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta, Rabu (28/6/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/original/2023/07/07/23045-ilustrasi-brin-ilustrasi-gedung-brin-badan-riset-dan-inovasi-nasional.jpg)
Lebih lanjut, Rokhis menyebutkan bahwa ocean color science merupakan wujud nyata dari penerapan geoinformatika di bidang kelautan.
Melalui kombinasi penginderaan jauh (remote sensing), sistem informasi geografis (GIS), pemodelan digital, dan analisis data, para ilmuwan dapat memahami dinamika laut secara lebih menyeluruh. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara lembaga riset dan pemangku kebijakan untuk memperluas penerapan teknologi ini.
Sementara itu, periset BRIN Gathot Winarso menjelaskan bahwa perbedaan warna laut ditentukan oleh cara air menyerap dan memantulkan cahaya.
“Air laut menyerap warna merah dari spektrum cahaya dan memantulkan warna biru, sehingga tampak biru bagi mata manusia. Namun, keberadaan sedimen atau partikel tertentu bisa membuat laut terlihat hijau atau bahkan kemerahan,” terangnya.
Gathot juga menyoroti perkembangan teknologi pemantauan warna laut, dari alat klasik seperti Coastal Zone Color Scanner (CZCS) di satelit Nimbus, hingga sistem mutakhir yang menyesuaikan dengan karakteristik perairan tropis Indonesia.
Baca Juga: Heboh Jatuh di Cirebon! Ini Jadwal Hujan Meteor 2025 di Indonesia Tak Boleh Dilewatkan
Dalam kesempatan yang sama, Kie Trung Hieu dari University of Singapore memperkenalkan terobosan baru berupa penggunaan unmanned aerial vehicle (UAV) untuk mendukung observasi laut beresolusi tinggi dengan detail sehingga minim gangguan atmosfer.
Dengan menggabungkan seperti teknik mosaik berbasis GPS dan deep learning dalam pemrosesan citra, UAV menjadi pelengkap efektif bagi sistem pemantauan satelit tradisional. “Integrasi antara UAV dan satelit akan menciptakan kerangka pemantauan laut yang lebih akurat dan komprehensif, khususnya di kawasan Asia Tenggara,” ujar Hieu.
Melalui inovasi dan kolaborasi lintas negara, BRIN berharap bahwa pengembangan geoinformatika kelautan dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat riset maritim di kawasan, sekaligus memastikan pengelolaan laut yang berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Penulis: Muhammad Ryan Sabiti