- Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto menjadi simbol kembalinya otoritarianisme ala Orde Baru.
- Direktur Eksekutif PVRI, Muhammad Naziful Haq, menyebut langkah itu berpotensi memutihkan sejarah dan memperlemah demokrasi yang sudah tergerus oleh militerisme serta aliansi oligarki.
- PVRI juga mengingatkan bahwa pencantuman nama Soeharto di antara figur demokratis seperti Gus Dur dan Marsinah bisa menjadi bagian dari politik kompromi dan pengkultusan individu.
Suara.com - Lembaga kajian demokrasi dan kebajikan publik Public Virtue Research Institute (PVRI) menanggapi soal rencana penetapan mantan Presiden kedua Soeharto sebagai pahlawan nasional akan melengkapi segala fenomena kembalinya otoritarianisme orde baru.
PVRI menganggap pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto tidak terpisah dari meningkatnya militerisme dan pembungkaman suara kritis saat ini.
Direktur Eksekutif PVRI, Muhammad Naziful Haq, mengatakan, dengan dijadikannya Soeharto sebagai pahlawan nasional, maka menandakan kembalinya babak baru otoritarianisme di Indonesia.
Sehingga, kata pria yang akrab disapa Nazif ini, jika terjadi otoritarianisme, tidak saja telah mengkooptasi struktur pemerintahan. Tapi juga sedang berupaya memutihkan sejarah sebagai basis legitimasinya.
“Demokrasi kita telah mengalami erosi yang besar dengan kembalinya militerisme. Ruang publik dan oposisi kian melemah dengan terbentuknya aliansi ormas agama dan oligarki,” kata Nazif, dalam keterangannya, Minggu (26/10/2025).
“Situasi saat ini butuh figur yang punya makna demokrasi dan reformasi yang bersejarah. Soeharto bukan bukan nominasi yang tepat. Secara historis, ia adalah bagian dari otoritarianisme masa lalu yang mengkhianati cita-cita kemerdekaan,” imbuhnya.
Nazif juga menilai dari 40 nama yang masuk nominasi, 10 di antaranya berlatar belakang militer, termasuk Soeharto. Sementara 11 lainnya berlatar elit agama, 19 sisanya berasal dari berbagai latar.
“Artinya, militer dan elit agama memperoleh masing-masing seperempat dari total keseluruhan,” katanya.
Nominasi nama-nama pahlawan tersebut, menurut Nazif, tidak lepas dari politik pengkultusan individu.
Baca Juga: Aktivis 98: Soeharto Cukup Jadi Mantan Presiden, Bukan Pahlawan Nasional!
“Namun di sisi lain mencerminkan kompromi antara aktor penguasa dan kelompok agama yang sedang diakomodasi,” ujarnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, hal ini jelas bukan preseden yang positif bagi iklim demokrasi di Indonesia lantaran struktur maupun simboliknya telah mengayun ke arah otoritarianisme.
Sementara itu, peneliti PVRI, Alva Maldini, menjelaskan bahwa nama Marsinah dan Gus Dur memang masuk dalam nominasi itu sebagai representasi kelompok buruh dan ikon demokrasi.
“Namun ketika dua nama ini bersanding dengan nama Soeharto dalam situasi militerisme dan menyempitnya ruang sipil, ada risiko dua nama ini menjadi apologi untuk situasi saat ini atau bahkan tukar guling politik,” katanya.
PVRI mencatat, demokrasi Indonesia saat ini semakin menghadapi ancaman. Bukan hanya ruang publik menyempit, tapi juga oposisi melenyap dan pemilu tak lagi berintegritas.
Ancaman pada demokrasi Indonesia juga kini semakin nyata dengan meluasnya peranan militer di pemerintahan sipil.