suara kasih paham

Dari Warung Gelap Jadi Regulasi Ketat: Mengapa Jakarta Melarang Konsumsi Anjing dan Kucing?

Kamis, 11 Desember 2025 | 18:40 WIB
Dari Warung Gelap Jadi Regulasi Ketat: Mengapa Jakarta Melarang Konsumsi Anjing dan Kucing?
Jakarta Larang Konsumsi Anjing dan Kucing. (Suara.com)
Baca 10 detik
  • Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan Pergub No. 36 Tahun 2025 yang melarang perdagangan dan konsumsi daging hewan penular rabies.
  • Larangan ini didasari pertimbangan kesehatan masyarakat untuk mencegah penyebaran zoonosis pada lingkungan Jakarta yang padat.
  • Regulasi tambahan diperlukan, termasuk peningkatan vaksinasi anjing dan kampanye risiko, meskipun memasak daging hingga matang dapat membunuh mikroba.

Suara.com - Di sudut Jakarta yang kini kosong, sebuah warung tua pernah ramai oleh pelanggan yang datang diam-diam untuk menyantap seporsi daging anjing. Tak jauh dari sana, jaringan kecil penjual daging kucing juga pernah beroperasi memanfaatkan celah pasar gelap. 

Praktik yang tak pernah benar-benar muncul ke permukaan itu bertahan karena permintaan tetap ada, meski jumlahnya kecil. Konsumen datang dengan alasan tradisi, pedagang bertahan karena selalu ada yang membeli. 

Hingga akhirnya, satu per satu lapak itu tutup setelah pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengangkat persoalan tersebut ke meja regulasi.

Puncaknya, lahir Peraturan Gubernur (Pergub) no. 36 tahun 2025 yang melarang perdagangan dan konsumsi daging hewan penular rabies (HPR), termasuk anjing dan kucing serta kelelawar, di seluruh wilayah Jakarta. 

Regulasi itu tidak hanya menyasar pedagang, tetapi juga perorangan yang membawa atau memperjualbelikan daging HPR untuk konsumsi.

Pemerintah menempatkan larangan tersebut dalam kerangka kesehatan masyarakat, yakni menghapus rantai pasokan yang berbahaya, membersihkan pasar dari daging yang tidak terlacak, dan menghindari risiko zoonosis yang tak terpantau.

Berbeda dari imbauan moral yang selama ini hanya menggantung sebagai pesan tanpa gigi hukum, Pergub ini memberi dasar penindakan. 

Warga bahkan diminta melapor jika menemukan lokasi penjualan, sementara pemerintah menyiapkan mekanisme pengawasan lintas dinas.

Bagi Pemprov DKI, pengendalian ini bukan soal preferensi makanan, melainkan upaya memutus potensi penyebaran rabies di kota berpenduduk padat, tempat satu celah saja bisa menjadi risiko kesehatan publik.

Baca Juga: RUU Kesejahteraan Hewan Maju ke DPR, DMFI: Saatnya Indonesia Beradab

Pergub larangan konsumsi daging anjing. (Suara.com/Aldie)
Pergub larangan konsumsi daging anjing. (Suara.com/Aldie)

Kepadatan Jakarta, Risiko Zoonosis, dan Kenapa Larangan Konsumsi Anjing–Kucing Jadi Mendesak

Praktik penjualan dan konsumsi daging anjing maupun kucing di Jakarta bukan hanya soal moralitas atau kesejahteraan hewan. Kota sepadat Jakarta nyatanya bisa menjadi ruang ideal bagi zoonosis untuk berpindah lintas spesies tanpa terdeteksi. 

Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan, kepadatan ekstrem membuat ritme penyebaran penyakit menjadi jauh lebih cepat. Interaksi yang sulit dikendalikan menjadi kunci masalahnya.

"Area padat seperti di Jakarta, orang lebih sering berinteraksi dengan hewan dan kontak langsung bisa terjadi, seperti gigitan, cakaran. Juga kontak tidak langsung seperti lingkungan tercemar dengan kotoran hewan dan paparan daging atau produk hewan sekitarnya yang tidak diawasi," jelas Dicky.

Ia mengingatkan bahwa populasi anjing dan kucing bebas yang tidak divaksinasi justru mempercepat polusi virus di lingkungan. Dengan cakupan vaksin hewan kesayangan yang masih rendah, risiko penularan rabies semakin besar. Karena itu, menurut Dicky, Pergub DKI tidak cukup berdiri sendiri. 

“Pergub larangan perlu disertai program transisi bagi pelaku, memperkuat vaksinasi anjing, pengendalian, juga surveilans gigitan dan pencegahan rabies. Cakupan vaksinasi harus lebih dari 70 persen untuk anjing,” ujarnya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI