Suara.com - Kawasan Kutub Selatan kembali mencatat rekor mencemaskan. Luas es laut di Antartika selama musim dingin tahun ini mencapai titik terendah ketiga sejak pemantauan satelit dimulai hampir setengah abad lalu.
Para ilmuwan menilai fenomena ini sebagai tanda kuat bahwa dampak perubahan iklim kini makin terasa di ujung selatan Bumi.
Menurut data sementara dari Pusat Data Salju dan Es Nasional Amerika Serikat (NSIDC) yang berbasis di Universitas Colorado Boulder, es laut Antartika mencapai puncak musim dingin pada 17 September 2025 dengan luas 17,81 juta kilometer persegi.
Mengutip dari Carbon Brief (1/10/2025), angka ini berada 900.000 kilometer persegi di bawah rata-rata historis periode 1981–2010.
Dr. Ted Scambos selaku peneliti senior dari NSIDC menjelaskan bahwa penurunan ini menjadi bagian dari tren panjang berkurangnya tutupan es laut Antartika dalam beberapa tahun terakhir.
“Kecenderungan penurunan yang terus terjadi menimbulkan kekhawatiran serius terhadap stabilitas dan potensi pencairan lapisan es di wilayah ini,” ujarnya dikutip dari Carbon Brief (1/10/2025).
Hingga beberapa tahun lalu, para ilmuwan masih mencatat fluktuasi es laut Antartika yang cenderung stabil, bahkan sempat meningkat sedikit.
Namun, sejak 2016, tren tersebut berbalik arah. Scambos mengatakan bahwa perairan sekitar Antartika kini makin hangat karena suhu lautan global terus naik.
“Tampaknya panas dari samudra dunia mulai meresap ke perairan dekat Antarktika. Perubahan iklim akhirnya benar-benar berpengaruh pada wilayah ini,” tambahnya.
Baca Juga: Bagaimana Serangga Asli Antartika Melawan Dingin
Meski mencairnya es laut tidak langsung meningkatkan permukaan air laut karena sifatnya yang mengapung, hilangnya lapisan putih reflektif membuat sinar matahari yang biasanya dipantulkan justru diserap oleh laut.
![Pemandangan di Antartika. [Shutterstock]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2017/08/14/91759-antartika.jpg)
Hal ini mempercepat pemanasan kawasan dan mengganggu keseimbangan iklim global.
Selain itu, es laut berfungsi sebagai pelindung alami lapisan es daratan Antarktika. Saat es laut berkurang, ombak dan angin laut bisa lebih mudah menghantam pantai, mempercepat aliran gletser ke laut, dan pada akhirnya memicu kenaikan permukaan air laut.
Di sisi lain, perubahan ini juga bisa memunculkan efek yang berlawanan. Scambos menyebut, meningkatnya kelembaban udara akibat laut yang lebih hangat berpotensi menyebabkan peningkatan curah salju di Antartika.
“Udara lembab yang membawa badai bisa menghasilkan lebih banyak salju di benua tersebut, yang sedikit banyak bisa menunda kenaikan permukaan laut,” katanya.
Namun, ia menegaskan bahwa efek penyeimbang ini hanya bersifat sementara. Dalam jangka panjang, pemanasan global yang terus berlanjut justru akan membuat lapisan es di daratan Antartika semakin menipis.
Jika seluruh lapisan es Antartika mencair, ketinggian permukaan laut global dapat naik hingga puluhan meter, yang akan menenggelamkan banyak wilayah pesisir dunia — meskipun proses itu diperkirakan terjadi selama beberapa abad.
Sementara itu, di sisi lain planet, es laut Arktik di Kutub Utara juga mencatat penurunan signifikan.
Data NSIDC menunjukkan bahwa es laut Arktik mencapai titik minimumnya pada 10 September 2025, dengan luas 1,6 juta kilometer persegi, menempati posisi ke-10 terendah sejak pencatatan dimulai.
Seluruh 19 rekor terendah es laut Arktik dalam sejarah satelit terjadi dalam 19 tahun terakhir. Para ilmuwan menilai hal ini sebagai bukti kuat bahwa sistem iklim Bumi tengah mengalami perubahan besar akibat ulah manusia.
Pemantauan kondisi es laut di kedua kutub selama ini bergantung pada data dari satelit cuaca milik Departemen Pertahanan Amerika Serikat (DoD). Namun, pada pertengahan 2025, NSIDC menemukan adanya “lubang” dalam data yang mereka terima.
Setelah ditelusuri, DoD mengonfirmasi bahwa mereka telah mengurangi akses data demi alasan keamanan siber. Akibatnya, distribusi data dari Defense Meteorological Satellite Program dihentikan pada 31 Juli 2025.
Untuk menjaga keberlanjutan pemantauan, NSIDC kemudian beralih menggunakan sensor baru dari satelit Jepang yang diluncurkan pada 2012. Langkah ini memastikan bahwa catatan tahun 2025 tetap konsisten dan bisa dibandingkan dengan data sebelumnya.
Kontributor : Gradciano Madomi Jawa