Suara.com - Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA sudah dimulai sejak awal Januari lalu. Dalam produk dan sumber daya manusia, Indonesia harus bersaing dengan negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN.
MEA adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam artian adanya sistem perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN. Indonesia dan sembilan negara anggota ASEAN lainnya telah menyepakati perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC).
MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional. Ada 8 bidang pekerjaan profesional yang dibebaskan bekerja di negara-negara ASEAN. Di antaranya profesi insinyur, arsitek, perawat, tenaga survei, tenaga pariwisata, praktisi media, dokter gigi, serta akuntan. Mereka harus bersertifikat dan bisa berbahasa negara lokal.
Sayangnya, tidak bisa dipungkiri, kebanyakan di berbagai bidang Indonesia kalah saing. Indonesia tercatat hanya sejajar dengan Thailand dan Malaysia. Sementara kalah jauh dengan Singapura dan Bruney.
Makanya, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid VIII untuk mempersiapkan Indonesia menghadapi MEA. Di antaranya soal "one map policy", membangun ketahanan energi, dan kebijakan insentif sektor penerbangan.
Pakar Ekonomi yang juga Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko menilai paket kebijakan itu sangat membantu. Namun perlu waktu lama untuk dirasakan pelaku usaha bisa bersaing dengan ‘negara kuat’ tetangga.
Doktor ekonomi lulusan Ecole Normale Superieure de Lyon, Prancis itu menyarankan Pemerintahan Joko Widodo untuk merancang ‘paket kebijakan’ jangka pendek untuk tahun pertama MEA. Meski tetap saja, dia memprediksi tahun pertama MEA diberlakukan, Indonesia akan ‘babak belur’, hanya dijadikan pasar karena jumlah penduduknya paling banyak se-ASEAN sekitar 250 juta jiwa.
Namun dia menelisik ada sektor-sektor yang bisa diandalkan Indonesia dalam MEA. Sektor itu bisa bersaing mengalahkan negara ASEAN lain.
Sektor apa yang menjadi kelemahan dan andalan Indonesia di era MEA? Strategi apa yang harus diambil pemerintah Indonesia untuk menghadapi MEA?
Berikut wawancara khusus suara.com dengan Agustinus di ruang kerjanya di Unika Atma Jaya Jakarta pekan lalu:
MEA sudah dimulai, bagaimana Anda memandang kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA?
Saya kita ini sudah tidak saatnya untuk siap atau tidak, dan sanksi atau tidak. Itu sudah lewat dan tidak relevan. Karena MEA sudah berjalan dan sudah terjadi. Sehingga persoalan sekarang ini adalah bagaimana Indonesia menarik keuntungan semaksimal mungkin bagi ekonomi domestiknya.
Kalau di lihat dari macam-macam hal. Semisal kemampuan daya saing dengan negara-negara ASEAN lain, Indonesia tergolong rendah. Sehingga memang harus ada usaha untuk meningkatkan daya saing. Tapi ini memerlukan waktu agak lama. Tapi yang paling mudah adalah memanfaatkan untuk mencegah pasar domestik diserbu oleh pemain asing di kelompok ASEAN ini. Itu yang bisa dilakukan pertama kali, yaitu melindungi. Tapi jangka menengah panjang itu meningkatkan daya saing.
Apakah yang dilindungi? Dari sisi tarif?
Tapi melindungi tidak dengan tarif, karena tarif sudah nggak boleh.
Pemerintah sudah mengeluarkan paket kebijakan khusus MEA. Di antaranya soal "one map policy", membangun ketahanan energi, dan kebijakan insentif sektor penerbangan. Apakah paket kebijakan ini sudah tepat sasaran? Apa yang perlu ditambah?
Deregulasi itu sebetulnya arahnya lebih mendorong supaya gerak ekonomi kita itu lebih cepat. Terkait dengan perlambatan ekonomi yang tadinya agak ketat, maka dilonggarkan regulasinya. Sehingga tidak ada aturan yang mandek, dan juga geraknya lebih capat.
Memang itu juga salah satu syarat penting ketika kita mau masuk pasar bebas. Karena dengan makin longgarkan regulasi, pemain domestik kita makin longgar untuk bersaing. Tapi di sisi lain, pemain asing makin bebas ke beberapa sektor yang di longgarkan itu. Jadi memang ada dilema.
Pemain domestik ini siapa? Pengusaha mengengah atau bawah?
Umumnya pengusaha menengah yang selama ini mempunyai kemampuan untuk mendorong ekonomi domestik. Tapi karena ada regulasi, jadi nggak bisa. Dengan deregulasi itu jadi bisa bergerak. Intinya mempermudah melakukan aktivitas bisnis mereka itu.
Kekurangan apa yang Indonesia miliki di MEA ini?
Pastinya, dalam konteks liberalisasi 4 bidang itu seperti jasa, SDM, keuangan, dan investasi. Nah, kita memang lebih rendah dalam hal produksi barang dan jasa dibanding negara lain. Ini karena macam-macam hal.
Di antaranya suku bunga kita lebih tinggi, cost produksi kita lebih tinggi dan berbagai hal. Ini harus diperbaiki. Sehingga kita bisa menghasilkan produk yang lebih kompetitif dengan negara tetangga kita.
Di bidang investasi juga begitu, kemampuan investasi Indonesia lebih rendah dibanding negara-negara yang sering melakukan investasi.
Namun dalam konteks ekonomi ‘bebas’, kita juga nggak bisa menang di semua lini. Jadi yang diperlukan, menurut saya memilih beberapa sektor yang kita memang unggul untuk didorong agar kita terkoneksi dengan mata rantai pasokan regional ke global.
Misal kita kuat di ban, karena kita punya bahan baku ban, karet. Sehingga industri ban ini bisa menembus mata rantai dari industri otomotif. Kalau industri otomotif ini berkembang pesat di dalam dan kita bisa masuk, ban disuplay dari Indonesia. Kan kita kecantol juga untuk suplay dunia.
Namun memang Indutri manufaktur kita lemah, Thailand ini sangat kuat.
Jadi secara umum kita lemah, tapi tidak semua juga lemah. Lainnya di produk Semen misalnya. Semen Indonesia itu sudah punya pabrik di Myanmar. Kan yang begini harus didorong terus karena banyak. Di bidang properti kita juga kuat, Perusahaan Ciputra saja sudah punya properti di Vietnam. Itu yang harus diperbanyak.
Indonesia salah satu negara yang mempunyai biaya logistik tinggi, sampai 23,6 persen dari PDB. Negara lain banyak di bawah 15 persen. Harga barang perusahaan Indonesia mahal, sehingga tidak kompetitif. Bagaimana analisa dan saran Anda?
Karena itu bukan target jangka pendek pastinya. Kalau kita lakukan dengan sangat benar dan baik pun itu hasilnya beberapa tahun kemudian.
Saran Anda?
Logistik itu yang jelas, kalau investor ada keyakinan bahwa infrastruktur dibangun dengan baik. Indikatornya adalah bangun bandara, pelabuhan, tol itu signifikan gerakannya. Itu orang akan melihat ekspetasinya. Tapi tidak dalam 1-2 tahun ke depan biaya logistik akan turun. Tapi dalam 5 tahun ekspetasi akan ada penurunan. Orang itu akan menanam itiu dari sekarang.
Artinya tahun pertama MEA ini, Indonesia seperti hancur-hancuran terlebih dahulu?
Ya, kita pasti mengalami beberapa persoalan penting ketika menghadapi MEA di awal-awal ini. Mungkin pasar kita banyak diserbu oleh barang-barang impor, sementara barang kita belum mampu untuk keluar. Pada saatnya nanti Indonesia harus mampu membuat produk kita dipasarkan ke pasar ASEAN juga.
Pasar Indonesia yang unggul sampai 230 juta penduduk dibanding negara ASEAN lain dinilai menjadi unggulan di MEA. Namun banyak pakar yang mengatakan jika Indonesia hanya dimanfaatkan sebagai pasar. Anda sepakat soal itu? Bagaimana analisa Anda?
Itu fakta yang tidak bisa ditolak, karena di antara semua negara ASEAN, jumlah penduduk ASEAN kalau ditotal itu 600 juta jiwa. Itu sepertiga lebih di Indonesia. Sehingga sangat wajar Indonesia potensial market.
Dengan sertifikasi tenaga kerja Indonesia, apakah sudah cukup membuat tenaga kerja Indonesia kompetitif dengan tenaga kerja asing? Jika belum, apa solusinya?
Ini juga hal yang tidak kalah kompeksnya soal human capital. Karena human capital dan produktivity tenaga kerja itu tak bisa didadak. Itu investasi jangka panjang. Makanya sistem pendidikan kita harus baik. Semakin banyak orang yang lulus di menengah ke atas, jadi perguruan tinggi, diploma dan sebagainya itu satu hal.
Tapi hal lain yang terjadi banyak tenaga kerja yang lulus dari perguruan tinggi sekali pun, mereka nggak siap. Sehingga memang harus ada usaha lain, sertifikasi salah satunya. Itu untuk melengkapi keahlian dari tenaga kerja Indonesia. Ini belum terjadi secara sistematik. Misalnya kita punya balai pelatihan. Tapi faktanya tepat yang tidak berfungsi secara optimal.
Jadi kalau secara kelembagaan mulai dibenahi, baik dari privat sector maupun pemerintah, dan sebagainya. Itu moga-moga ada perkembangan yang signifikal yang membuat beberapa segmen tenaga kerja kita meningkat produkstivitasnya.
Misalnya, Indonesia sama-sama mengirim TKI, tapi dengan kualifikasi yang lebih baik, dengan kemampuan bahasa inggris yang lebih baik, itu tentu akan beda ceritanya yang dikirimkan ke luar negeri.
Sejauhmana peran kampus dan sekolah untuk membentuk SDM ini?
Tentu, kalau kita bicara perguruan tinggi itu sangat penting. Karena tenaga kerja kita di industri demostik nanti yang kita akan dikirim tidak hanya dari perguruan tinggi domestik, tapi dari perguruan tinggi di sekitar kita, ASEAN.
Jadi yang menjadi agenda di perguruan tinggi kita adalah lulsan kita ini spesifikasi dan spesialisasi yang unik. Dengan lulusan yang lain. Uniknya ini dari mana? Mungkin universitas di ASEAN ini mengandalkan kompetensi dan kemampuan teknis ini menjadi keunggulan mereka yang kita tidak punya. Nah kita harus mempunyai keunggulan lain.
Menonjolkan keunikan tenaga kerja Indonesia. Seperti apa?
Misalnya dalamm konteks kita bekerja di Indonesia dan bisa bersaing dengan alumni univestitas lain dari luar negeri. Kita harus bisa menkapitalisasi pengenalan dengan market domestik. Artinya dalam proses pendidikan ini harus diajari untuk peduli pada lingkungan sosial kita. Ketika mereka masuk ke dunia kerja mereka sudah tahu kompeks situasi politiknya sosialnya dan sebagainya, yang kualifikasi itu tidak dimiliki pekerja asing di sini.
Daya saing UMKM diragukan di MEA. Menurut Anda demikian?
Sama, situasi di level atas secara umum Indonesia nggak siap. Tapi pasti di antara ketidaksiapan itu, pasti ada yang siap kan. Nah itu yang harus di dorong.
Industri kerajinan kita itu kompetitif dengan industri kreatif di lingkungan ASEAN Karena kreatifivitas yang dimiliki oleh pengrajin kita kan berbeda. Misal pengrajin batik, nggak ada batik yang seperti batik kita. Itu yang harus dikapitalisasi masuk ke market ASEAN.
Sektor mana yang dinilai masih kurang di UMKM ini?
Secara umum kita umum UMKM kita sangat lemah daya saingnya. Tapi ada beberapa yang besar.
Sektor mana yang paling siap menghadapi MEA ini?
Kekuatan kita itu kan masih di komoditi base industri, mulai dari mineral ke agrikultur dan sebagainya. Tapi ada yang missing link, yaitu network dari value chain (rangkaian kegiatan yang dilakukan suatu perusahaan untuk menghasilkan produk atau jasa) ke industri. Ini lepas. Kalau kita mau bisa rekatkan lagi industri manufaktur kita dengan industri base ini, pertama kita nggak lagi tergantung dengan ekspor produk komuditas. Kedua industri kita akan tumbuh karena resources dari dalam. Jadi ada value chain.
Misal industri pangan. Industri pangan kita itu sebenarnya kuat. Jadi kalau didorong terus dengan diikuti bahan baku domestik, maka akan kuat.
Mengapa belum bisa bersaing?
Kita nggak punya strategi yang baik untuk menggabung dari komoditi base ke industrial base economy. Kita loncar ke resources dan financial sector. Tidak ada desain kebijakan yang jangka panjang.
Jadi apa saran Anda kepada pemerintah Indonesia untuk menghadapi MEA?
Dalam jangka pendek berilah upaya yang cukup untuk memberdayakan sektor-sektor yang punya kompetitif yang kita punya dibanding negara lain. Itu bisa dipilih. Pemerintah harus mempunya peta industri kita mana yang kuat.
Kedua, mengkaitkan satu sektor dengan sektor lain. Kalau ada satu sektor yang leading, itu akan membawa sektor yang lain. Kita harus membangun suplay chain industry kita.
Negara mana yang menjadi saingan kuat?
Kita sejajar dengan Thailand dan Malaysia. Itu karakteristiknya sama. Kita di atas Filipina. Tiga negara ini sama. Kalau kita bersaing dengan negara itu, maka kita akan bisa bersaing dengan Filipina dan Vietnam.
Biografi Agustinus Prasetyantoko
Agustinus Prasetyantoko merupakan doktor ilmu ekonomi lulusan dari Ecole Normale Superieure de Lyon, Prancis. Sebelumnya gelar master Agustinus didapat di University of Science and Technology of Lille (USTL) di bidang Strategic. Sementara sarjana ekonominya diraih di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Saat ini Agustinus menjabat sebagai Rektor Universitas Katolik Atma Jaya. Dia juga tercatat sebagai ekonom handal di Indonesia. Pendapatnya sering diminta untuk menentukan kebijakan perekonomian Indonesia. Sepanjang kariernya di dunia akademis dan praktisi, Agustinus banyak menuangkan pemikirannya di buku dan jurnal ilmiah.