Sutrisna Wibawa: Media Sosial untuk Terapkan Kepemimpinan Partisipatif

Senin, 22 April 2019 | 23:41 WIB
Sutrisna Wibawa: Media Sosial untuk Terapkan Kepemimpinan Partisipatif
Rektor UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) Sutrisna Wibawa. [Instagram/screenshot]

Suara.com - Seorang mahasiswi iseng mengirim pesan melalui jalur pribadi (direct message) di akun Instagram (IG) Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Sutrisna Wibawa. Ia mengusulkan agar Dies Natalis ke-55 UNY diisi konser musik dan menghadirkan sejumlah musisi nasional seperti Tulus, RAN, HiVi, Maliq & d'Essentials, Raisa, atau Sheila on 7.

Pesan itu ditampilkan dalam tangkapan layar di IG story sang rektor. Sutrisna ingin menggalang sponsor untuk mewujudkan impian mahasiswinya. Uniknya, ia ingin konser itu dibayar dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).

Percakapan langka itu langsung ditangkap oleh warganet dan menjadi viral. Tak lama kemudian, Sutrisna mengumumkan bahwa konser itu terwujud dengan sponsor dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) DIY.

Ketika ditanya lebih lanjut, Sutrisna mengaku sengaja menggunakan media sosial untuk menjaring aspirasi dan komunikasi yang lebih cair dengan mahasiswa. Berikut percakapan Suara.com dengan Rektor UNY Sutrisna Wibawa.

Konser berbayar IPK akhirnya terwujud. Bagaimana perkembangan terbaru?

Saya heran, dalam lima jam sejak kita buka, 7.500 tiket habis. Itu bukti bahwa mahasiswa itu dekat dengan teknologi informasi. Padahal kami umumkan di laman resmi UNY, lalu diposting di akun resmi IG UNY Official dan di IG saya. Banyak yang kecewa (tidak kebagian tiket), tapi hanya ada 7.500 tiket.

Yang IPK 3,75-4.00 ada 1,185 mahasiswa. IPK 3,5-3,74 ada 3.553 mahasiswa, yang 3,25-3,49 ada 2.042 mahasiswa, yang 3,00-3,4 ada 575 mahasiswa, yang IPK 2,75-2,90 hanya 149 mahasiswa. Saya membatasi hanya 2,75 dulu. Ternyata dengan batas 2,75 itu habis. Kita buat lelucon, yang lain live streaming, nanti kita pasang layar tancap misalnya. Ini kan memotivasi mahasiswa untuk berprestasi. Alumni juga banyak yang ingin menonton.

Ini luar biasa. Kalau melihat data itu, yang cum laude lebih dari separuh. Tinggal mengejar waktu, nanti kita tindak lanjuti melalui komunikasi berikutnya. Jadi, berkorelasi kan. Ini mendorong (peningkatan) IPK. IPK ini kan salah satu indikator keberhasilan. Bahkan dalam penerimaan pegawai, ada perusahaan yang menerima mahasiswa dengan IPK cum laude melalui jalur khusus.

Kenapa menggunakan media sosial?

Baca Juga: Yuswohady: Era Useless Economy, Manusia Tak Berguna di Industri 4.0

Saya menggunakan media sosial sebagai salah satu cara untuk menerapkan kepemimpinan partisipatif. Karena untuk membuat transformasi harus partisipatif. Saya mendekati mahasiswa melalui bahasa-bahasa anak muda.

Kalau Anda lihat di media sosial saya kan bahasanya menggelitik. Orang Jawa bilang guyon parikena. Artinya, gojek (bersenda gurau) tapi mengena. Misalnya ketika Dies Natalis UNY ke-55. Ini kan monumental. Usulannya apa? Kemudian muncul (ide) konser itu, kemudian saya tanggapi. Tapi IPK-nya harus bagus. Itu kan sebenarnya guyon parikena. Saya ingin mahasiswa tidak sekadar mendapatkan hiburan, tapi juga menghargai prestasi mereka.

Kemudian bagaimana memberi inspirasi mahasiswa. Samsung saja sudah S10, (masa) mahasiswa S1 saja belum. Itu kan guyon parikena untuk mendorong mahasiswa menyelesaikan skripsi. Itu kan bahasa-bahasa anak muda, sehingga mahasiswa tidak tersinggung tapi merasa terpacu. Yang paling tinggi viewer-nya ya, yang Samsung itu, sampai 84 ribu. Itu paling tinggi dalam sejarah media sosial saya. Ternyata tidak hanya mahasiswa, dosen dan mahasiswa luar pun termotivasi. Jadi tidak hanya UNY, ada komunitas lain yang merasa terpacu.

Apa saja isi pesan mahasiswa ke DM Anda?

Sebelum (yang viral) itu, ada mahasiswa yang mengeluhkan di kosnya ada hantunya. Cerita itu kan muncul karena kedekatan. Yang terakhir, ada mahasiswa terkena demam berdarah. Itu langsung kita tindaklanjuti. Ada yang kehilangan uang atau barang, juga saya tindaklanjuti. Untuk kasus kehilangan, itu akan menunjukkan ke pencuri-pencuri juga, ternyata kampus memperhatikan. Inilah pendekatan komunikasi dua arah antara mahasiswa dengan tenaga pendidik, sehingga terbangun sinergi.

Akhir-akhir ini nampaknya mahasiswa lebih terbuka. Itu sesuai yang saya harapkan. Saya berpikir hubungan itu tidak harus formal. Banyak pesan dari media sosial yang saya tindaklanjuti. Misalnya mahasiswa mengeluhkan nilai yang belum keluar, dosennya dipanggil, keluar nilainya. Itu kan komunikasi yang efektif. Mungkin kalau bertemu saya, mahasiswa tidak berani. (Tapi) Dengan media sosial, mereka berani terbuka.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI