Prof Adi Utarini: Berantas DBD Perlu Gerakan Luas dan Terus-menerus

Jum'at, 24 Januari 2020 | 06:05 WIB
Prof Adi Utarini: Berantas DBD Perlu Gerakan Luas dan Terus-menerus
Prof dr Adi Utarini MPH MSc PhD. [Suara.com / Uli Febriarni]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Belum lama ini, seorang ahli dari Yogyakarta meraih Habibie Award, tepatnya terkait program Eliminate Dengue Project (EDP) yang dijalankan. Dia adalah Prof dr Adi Utarini MPH MSc PhD.

Apa saja yang bisa dijelaskan dari programnya itu, serta kenapa bisa meraih penghargaan dan apa manfaatnya? Berikut petikan wawancara dengannya belum lama ini.

Bagaimana perasaan Anda akhirnya meraih Habibie Award?

Tentu ini jadi penyemangat ya yang pasti. Tapi saya terus terang tidak tahu kok bisa dapat, mestinya ada pertimbangan dan kebermanfaatan.

Tentu ini bukan kerja saya sendiri ada tim juga. Kami pun berterima kasih kepada tim yang terlibat dalam World Mosquito Program (WMP) dan utamanya kepada seluruh masyarakat yang sudah mau berpartisipasi dan mendukung program ini, karena tanpa dukungan masyakarat, program nyamuk berwolbachia ini tidak memiliki arti apa-apa.

Bisa minta tolong jelaskan, apa sih program yang membuat Anda mendapat Habibie Award ini? Secara singkat saja.

Secara singkat, dulu kami menyebutnya Eliminate Dengue Project (EDP). Sekarang kemudian nama itu berubah menjadi WMP. Karena teknologi Wolbachia itu, di laboratorium bisa juga untuk chikungunya, zika dan yellow fever. Dulu kan kami memulai 2011, tapi kemudian ada fase-fasenya.

Fasenya seperti apa?

Dulu 2011-2012 banyak kegiatan, mulai dari feasibility, infrastruktur, capacity building, uji keamanan dan kemampuan kami sampai menghasilkan nyamuk berwolbachia yang karakter genetik dan fisiknya mirip dengan populasi nyamuk lokal di sini.

Kemudian pada 2013 hingga 2015 dilakukan penyebaran nyamuk berwolbachia, diawali dengan empat dusun. Di Sleman bertempat Nogotirto (Gamping) dan Kronggahan (Mlati), sedangkan Bantul bertempat di Jomblangan dan Singosaren (Banguntapan). Karena baru mulai maka skala masih kecil, dusun.

Kami mulai melepaskan nyamuk dewasa di Sleman, kalau yang di Bantul metodenya sudah berkembang, bukan lagi melepaskan nyamuk dewasa. Melainkan menitipkan ember berisi telur nyamuk. Kami beri air, pelet dan embernya ini 'diasuh' oleh masyarakat yang ketempatan ember itu. Tidak semua rumah mendapat ketempatan, ada dalam jarak tertentu.

Dan yang paling penting, kami bisa membuktikan bahwa wolbachia itu kalau sudah dilepaskan dalam waktu tertentu dan distop, dia tetap ada di area itu. Ketika dia secara natural kawin dengan nyamuk setempat kemudian telurnya sudah mengandung wolbachia.

Sekarang sudah lima tahun, kami tahu mereka stabil secara statistik. Jadi di wilayah pelepasan itu, kalau kami tangkap dan kami periksa, pasti sudah ada wolbachianya.

Pada 2016 sampai akhir 2017 merupakan fase ketiga dan kami lakukan di separuh wilayah Kota Yogyakarta (Kricak, Karangwaru, Bener, Tegalrejo, Pakuncen, Wirobrajan, Patangpuluan, Purbayan, Rejowinangun, Prenggan). Setelah itu wolbachianya stabil tinggi dan yang paling tinggi adalah apakah kasus demam berdarahnya turun. Kami masih mengumpulkan data, semoga rencana akhir 2020 kami selesai mengumpulkan data dan menarik kesimpulan dari studi ini. Setelah itu, kami lebih berbicara bagaimana teknologi ini bisa dibawa ke wilayah-wilayah lain yang demam berdarahnya tinggi.

Pernah ingat seperti apa penolakan masyarakat terhadap program ini, dulu?

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI