Prof Adi Utarini: Berantas DBD Perlu Gerakan Luas dan Terus-menerus

Jum'at, 24 Januari 2020 | 06:05 WIB
Prof Adi Utarini: Berantas DBD Perlu Gerakan Luas dan Terus-menerus
Prof dr Adi Utarini MPH MSc PhD. [Suara.com / Uli Febriarni]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Itu pembelajaran penting bagi kami. Dulu waktu di Sleman, kami teknologinya adalah melepas nyamuk dewasa. Kami yakin ada kekurangan dari kami juga dalam meyakinkan, menjelaskan kepada masyarakat. Saat itu kami juga diminta komisi etik untuk minta persetujuan masyarakat itu satu per satu individu [bukan per Kepala Keluarga]. Itu bukan model yang cocok bagi masyarakat kita, karena masyarakat kita itu tidak individu, tapi komunal, rembuk ndeso, rembuk adat. Saya yakin ada masyarakat yang kurang terinfomasikan saat itu dan mengajak yang lainnya untuk menolak.

Tapi ada yang saya syukuri, pertama itu penelitian. Dalam penelitian itu kami harus menjunjung tinggi yang menolak, mereka kami lindungi, mereka punya hak sepenuhnya untuk menolak. Ya tidak apa-apa, menolak ya sudah. Jadi ada suatu wilayah yang tidak kami lepaskan nyamuk berwolbachia.

Kedua, kalau dibuat dalam persentase, yang menolak itu kurang dari 1%. Jadi mungkin ada belum diyakini, walau sebagian sudah memahami. Selain itu kekhawatiran ya.

Tapi beberapa tahun setelahnya, hubungan kami dengan masyarakat tetap baik. Melepas nyamuk itu hanya salah satu, karena kalau ada tersangka DBD kami dampingi berobat dan lainnya. Bahkan, hingga pada di titik tertentu, mereka minta dilepasi nyamuk. Tapi mereka kan sudah memberikan somasi, kami tidak dapat melepaskan nyamuk sebelum somasi itu ditarik.

Sekarang ini di Sleman, hingga November 2019 ada 692 kasus demam berdarah dengue (DBD) dan satu di antaranya meninggal dunia. Kabarnya, Dinas Kesehatan Sleman menyebut ini merupakan siklus empat tahunan. Itu bagaimana?

Sebetulnya sekarang ini patokannya tidak bisa 'berapa tahun sekali' ya, tidak bisa. Dulu disebut siklus lima tahunan, sekarang ini empat tahunan, tiga tahunan itu sudah tidak bisa dipegang, karena ada faktor musim. 2017 dan 2018 secara umum rendah sekali, salah satu faktor kuat adalah saat itu musim kering. Tapi lalu 2018 akhir-2019 di mana-mana tinggi. Ini pegaruh musim cukup besar, mungkin tidak terlalu berpatokan pada berapa tahun sekali. Tapi kita melihat, kalau habis tinggi kemudian drop dan bertahap naik lagi.

Siklus lima tahunan itu tidak bisa dipakai sebagai patokan mati, bahwa ini akan empat tahun, ini akan tiga tahun. Karena kalau melihat data di Kota Yogyakarta, ada yang baru dua tahun itu dia [kasus DBD] sudah tinggi. Jadi yang penting, jangan melihat empat, tiga atau lima tahunnya. Tapi saya kira DBD ini penyakit yang membutuhkan kewaspadaan terus-menerus. Terutama kalau kemudian memang sebagian besar wilayah itu hujan.

Jadi bagaimana pengukurannya?

Pengukuran kan dilakukan lewat pantauan terus-menerus yang dilakukan oleh dinas [Dinas Kesehatan] seperti itu. Ketika sudah tak bisa jadi patokan tadi, saya kira alternatifnya [tolok ukur] ya kira tren yang dikeluarkan oleh dinas. Karena ketika di satu tahun tinggi, dipastikan di tahun berikutnya mulai rendah lalu naik tinggi lagi. Mmm.... patokannya apa ya?

Problemnya DBD itu begini, telur itu kan tidak mudah mati. Di musim kering pun dia 6-9 bulan tetap hidup. Jadi sulit membuat patokan, mungkin kewaspadaan dini yang dinas bisa terus share ke masyarakat. Daerah ini kok mulai meningkat, mungkin itu yang sudah menjadi kewaspadaan. Kalau di masyarakat, yang paling mudah saya kira ketika di suatu daerah ada beberapa pasien dengue, itu sudah cukup menjadi pengingat masyarakat. Tidak perlu menunggu tiga tahun atau empat tahun.

Kemudian, di Gamping kan ada dua dusun yang diintervensi nyamuk wolbachia. Tapi ternyata, kasus DBD di Gamping itu masuk tiga besar tertinggi. Ada yang bisa dijelaskan dari sini?

Ya, Gamping tertinggi [sembari mengangguk]. Ya memang pada saat ujicoba [nyamuk berwolbachia], seingat saya penduduknya [di dusun ujicoba] itu penduduknya hanya 2.000 sampai 2.500 jiwa penduduk. Tidak sampai 5.000 jiwa penduduk, sangat kecil skalanya. Sedangkan kalau kita berbicara Gamping, kan itu skala kecamatan, lebih besar.
Nah, DBD itu uniknya, karena mobilitas penduduk itu penting, dan kita semua tahu, mungkin mobilitas orang di Yogyakarta dan Sleman itu tinggi. Sehingga memang kalau bicara nantinya supaya intervensi ini efektif, maka harus diterapkan di skala yang lebih luas.

Misalnya di Kabupaten Sleman itu mana lokasi tertinggi kasus DBD di mana, nah itu perlu kita jangkau. Nah, kalau itu diterapkan luas, baru kita kemudian mengetahui impactnya terhadap penularan DB.

Apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk menekan DBD?

Saat ini, yang dilakukan program ini [WMP] prinsipnya adalah memberantas sarang nyamuk, perilaku hidup bersih dan di lingkungan. Kadang saya merasa, program kami ini akan sangat bagus kalau masyarakat proaktif. Karena masyarakat kita itu kadang-kadang begitu musim kering tidak ada yang cerita sakit DBD, mungkin kemudian kurang konsisten melakukan terus-menerus [perilaku hidup bersih, tubuh dan lingkungan]. Nah, sekalius saya titip [pesan] kepada masyarakat, sekarang memasuki musim hujan, harapannya masyarakat terus-menerus melakukan gerakan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI