Suara.com - Baru-baru ini, lembaga Saiful Mujani Research and Consulting atau SMRC merilis salah satu hasil survei terbarunya terkait pandemi atau wabah corona dan dampaknya di Indonesia. Salah satu yang menjadi fokus survei adalah soal kondisi perekonomian masyarakat.
Bisa dipahami jika angka-angka yang ditunjukkan dari hasil survei itu adalah angka yang memburuk secara ekonomi. Bahkan di bagian yang lebih jauh mengarah pada kekhawatiran warga, survei SMRC juga menunjukkan angka yang memburuk.
Apa yang bisa dijelaskan dari hasil survei SMRC itu, serta apa kira-kira jalan keluar yang sebaiknya ditempuh atau bisa ditawarkan? Lalu, bagaimana juga dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB yang kini sudah dijalani oleh beberapa daerah? Berikut petikan wawancara Suara.com dengan Sirojudin Abbas, Direktur Eksekutif SMRC, baru-baru ini.
Bagaimana sebenarnya kondisi ekonomi warga sebulan terakhir di Indonesia, khususnya Jakarta dan sekitarnya, di tengah pandemi Covid-19? Seburuk apa kondisinya?
Semakin buruk. Dalam tempo sekitar dua minggu, warga yang mengaku keadaan ekonomi rumah tangganya memburuk dibanding sebelum wabah Covid-19, naik sebesar 29%. Pada survei akhir Maret (22-25 Maret) baru 38% warga yang mengaku kondisi ekonominya lebih buruk. Tapi dua minggu berikutnya (survei 9-12 April), warga yang mengaku keadaan ekonomi rumah tangganya memburuk menjadi 67%. Jika dikonversi menjadi jumlah orang, dari sekitar 200 juta warga Indonesia dewasa, wabah Covid-19 telah menyebabkan penurunan kondisi ekonomi rumah tangga sebanyak 134 juta orang.
Jika dilihat pada tingkat daerah, enam daerah yang termasuk zona merah pandemi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan), mengalami dampak lebih serius dibanding daerah-daerah lain. Jawa Tengah yang paling parah (75%), selanjutnya Sulawesi Selatan (73%), dan DKI Jakarta (71%).
Tingkat keparahan juga bisa dilihat dari penurunan pendapatan rumah tangga warga dibanding sebelum wabah Covid-19. Pada akhir Maret, baru 41% warga yang mengaku pendapatannya menurun. Tapi pada survei terakhir, naik sebanyak 29%, menjadi 70%. Penurunan pendapatan rumah tangga ini paling dirasakan warga DKI Jakarta (78%) dan Jawa Barat (73%).
Secara lebih spesifik, 77% warga Indonesia merasa wabah Covid-19 ini telah mengancam penghasilannya. Warga yang merasa terancam ini hampir merata di semua daerah. Tetapi DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan termasuk yang paling parah (92%).
Dari jumlah warga yang sudah merasa terancam penghasilannya, 33% di antaranya sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan pokok tanpa berhutang. 77% warga itu sebanding dengan 154 juta. Maka, 33% dari 154 juta adalah sekitar 50,8 juta orang. Lalu masih ada 40% (61,6 juta orang) yang masih memiliki tabungan, tapi hanya cukup untuk satu hingga beberapa minggu (kurang dari satu bulan). Jika kebijakan bantuan sosial (BLT, PKH atau pembagian bahan-bahan kebutuhan pokok) tidak berjalan secara masif dan efektif, besar kemungkinan dalam beberapa minggu ke depan jumlah orang yang tak akan sanggup lagi memenuhi kebutuhan hidup tanpa meminjam akan semakin besar.
Baca Juga: 1 Toilet Per 1.230 Orang, Pemukiman Kumuh Ini Jadi Sasaran Empuk Corona
Hasil survei SMRC, warga yang paling terperosok ekonominya adalah menengah ke bawah dan sektor informal. Bisa dijelaskan detailnya seperti apa?
Kebijakan yang dipilih pemerintah untuk menghambat penyebaran wabah adalah pembatasan interaksi antar manusia secara langsung. Kelompok yang terdampak langsung dari kebijakan tersebut adalah pekerja di sektor informal. Sebab, kegiatan ekonomi yang mereka lakukan mensyaratkan interaksi langsung dengan masyarakat. Misalnya, pedagang kaki lima, penjual makanan tenda, pedagang makanan keliling dan lain-lain, (itu) mengandalkan adanya kerumunan warga. Kebijakan social distancing dan PSBB telah membuat aktivitas sosial dan ekonomi di luar rumah berkurang sangat drastis. Padahal, pekerjaan di sektor informal dengan pendapatan harian itulah satu-satunya sumber penghidupan mereka.
Sementara itu, pekerja kerah biru yang bekerja berdasarkan standar upah minimum juga tidak memiliki jumlah tabungan memadai untuk bertahan hidup. Kelompok ini sebagian termasuk pada 40% warga (dari 77% yang terancam penghasilannya), atau sekitar 61,6 juta warga yang tabungannya (jika memiliki) hanya cukup untuk menutup kebutuhan hidup satu hingga beberapa minggu saja.
Di DKI Jakarta, sudah sepekan lebih PSBB diterapkan untuk menangani pandemi ini. Apa yang kurang dari kebijakan itu? Pasalnya, masih banyak warga yang melanggar.
Menurut hemat saya, PSBB di DKI Jakarta hanya mungkin berjalan efektif jika didukung oleh tiga prasyarat. Pertama, pemerintah memiliki aparat yang memadai untuk menegakkan aturan. Kedua, warga memahami tujuan dan manfaat kebijakan PSBB tersebut bagi mereka sendiri dan bagi masyarakat luas. Ketiga, jika warga merasa aman dan tidak khawatir dengan sumber penghidupan harian keluarganya. Menurut hemat saya, PSBB di DKI Jakarta belum didukung oleh tiga prasyarat di atas.
Dari ketiganya, prasyarat ketiga yang paling lemah. Masih banyak warga yang belum merasa aman secara ekonomi, sehingga mereka masih terus berupaya mencari sumber-sumber pendapatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Meskipun pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sudah melaksanakan program bantuan sosial, jumlah dan bentuk bantuannya belum tentu sesuai dengan standar hidup minimal warga sebelum terjadinya wabah.