Dana yang dikeluarkan tambang boleh sama, hanya kita minta nanamnya jangan kacang-kacangan lah. Nanamnya misalnya rumput, sehingga nanti bisa dilepaskan domba, kambing etawa, kambing safera, bisa sapi seperti terlihat di slide.
![Presentasi contoh langkah-langkah dan hasil revitalisasi lahan bekas tambang di Indonesia. [Dok. Irdika Mansur / captured]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/07/28/45849-presentasi-contoh-langkah-langkah-revitalisasi-lahan-bekas-tambang-di-indonesia-oleh-irdika-mansur.jpg)
Jadi maksudnya, rencana reklamasi harus didesain dari awal supaya kelak output-nya (nilai ekonominya) jelas?
Betul. Jadi ESDM kan sudah mengeluarkan peraturan perundangan yang nomor 3 terbaru, termasuk juga yang lama tentang reklamasi dan pascatambang. Perusahaan tambang itu saat baru mau menambang saja, mereka harus menyelesaikan rencana: nanti setelah tambangnya selesai, lahan bekas tambangnya akan jadi apa. Sehingga reklamasi mengikuti itu.
Karena kalau dibangunnya menunggu saat kegiatan menambangnya selesai, artinya mereka sudah tidak nambang lagi, perusahaan kan nggak ada income. Ah wis... biaya reklamasi akan mahal. (Tapi) Kalau tambangnya masih jalan, kan (kegiatan reklamasi) menjadi bagian dari CSR. Dana reklamasi ndak ada masalah.
Apalagi pemerintah kan saat ini sedang menguatkan ketahanan pangan, menguatkan cadangan logistik strategis nasional. Nah, itu bisa dilakukan kolaborasi, misalnya tambangnya diminta untuk reklamasi tapi nanamnya rumput, pohon, ada ini dan itu; nanti pemerintah yang akan menyuntikkan sapinya. Sapinya ada jantan, ada betina, kemudian masukkanlah teknologi dari Kementerian Pertanian, ada inseminasi buatan. Begitu beranak sapinya, dibagikan ke masyarakat sekitar sambil mereka dibina sehingga area peternakannya akan luas sekali.
Dan ini kan bukan contoh kecil, tapi skala besar.
Banyak perusahaan tambang yang seperti itu, hanya tidak pernah terekspos saja. Coba bayangkan, ada peternakan sapi di Kalimantan Timur di PT Kaltim Prima Coal. Kemudian rusa, seperti saya katakan tadi.
Nah, kalau saja Bu Menteri Kehutanan mau mengubah satu peraturan atau memberi satu peraturan sedikit, itu kita bisa menjadi peternakan rusa terbesar di dunia, atau di Asia Tenggara dululah.
Peraturan apa yang perlu diubah?
Baca Juga: Menteri LHK Dukung Pemprov Babel Rehabilitasi Lahan Kritis Bekas Tambang
Ah, itu perlu diskusi panjang. Kayaknya harus lain waktu.
Usulan Pak Irdika sendiri apa?
Ya, kalau secara teoritis sebenarnya sudah boleh. Maksudnya, kalau rusa sudah anak yang ke-2, yang ke-3, maksudnya turunan ke-2, ke-3 ini sebenarnya sudah boleh dikomersilkan, tapi implementasi di lapangannya itu masih ribet. Sehingga tidak banyak orang yang tertarik untuk melakukan ini. Nah, itu perlu simplifikasi di sana. Rusa di hutan kan masih banyak sebenarnya. Jangan sampai kita mengalami seperti banteng.
Sapi bali itu kan banteng sebenarnya. Ini kan mau Idul Qurban, bisa lihat daftar yang ditawarkan, kalau sapi bali beratnya perkiraan saya 300-400 atau paling besar 500 kilo. Padahal berat sebenarnya itu 1 sampai 1,2 ton. Lah kenapa kok sapi bali jadi kecil-kecil? Ya, karena inbreeding (perkawinan sekerabat). Jadi, bapaknya kawin sama anaknya, kawin sama cucunya, sama kakeknya. Jadi lama-lama tambah kecil genetiknya. Tapi kalau misalnya banteng yang masih ada di alam tadi, bisa diambil spermanya, kemudian dipakai untuk mengawinkan dengan sapi bali, nanti sapi bali-nya bisa kembali jadi 1 ton lagi (rata-rata beratnya).
Sama dengan rusa. Rusa kita ini kan inbreeding di penangkaran. Ya, tambah kecil tambah kecil. Padahal kalau ini nanti menjadi peternakan, kan boleh dikawinkan dengan yang lebih besar.
Mudah-mudahan Bu Menteri nanti mendukung, bahwa rusa itu dari penangkaran tekniknya sudah luar biasa lah, di mana-mana rusa berhasil. Di Istana juga banyak. Sekarang tinggal bagaimana dari penangkaran tadi menuju ke peternakan atau domestikasi.