Iya. Untuk risetnya.
Kalau untuk mobilnya sendiri kan bisa aja para produsen membangun pabrik. Indonesia sendiri ada perusahaan yang mulai memproduksi mobil listrik tapi memang komponen utamanya kan baterai ya.
Iya, tapi saya nggak tahu apakah Pemerintah Indonesia punya database berapa orang yang meneliti tentang ini misalnya.
Sepengetahuan saya sih kalau mau memproduksi baterai, Pemerintah akan mengundang investor asing saja lalu bikin pabriknya di isni. Artinya memang teknologi dari mereka, tidak seperti di Jerman mengembangkan sendiri teknologi lithium and battery. Di Indonesia nampaknya tidak ada lembaga khusus yang meneliti lithium and battery. Bagaimana menurut Anda?
Saya tahu ada beberapa... penelitian di Indonesia ada, tapi tidak semasif di negara lain. Kalah banget sama China. Tapi kan apakah... ya, untuk awal bolehlah. Cuma kan kita selalu bilang masalah transfer of technology. I mean, nggak ada yang namanya transfer of technology. Yang ada: ‘lu cari sendiri teknologi itu.’ Karena gak mungkin ada yang mau transfer of technology. Gak ada.
Itu kan mahal?
Iya dong. Maksudnya orang misalnya menjadi seorang PhD itu bisa kerja dari jam 8 sampe jam 8 lagi. Terus mau ditransferin gitu? Maksudnya itu logika kasarnya seperti itu. Gak ada transfer of technology.
Gimana caranya mentransfer proses berpikir. Gimana caranya mau ngasihin, gitu loh. Proses berpikir itu kan skill yang dilatih, bukan yang diberikan, dan itu bukan cuma dalam tahap sampe di universitas tapi juga proses berpikir dari tingkat misalnya SD. Makanya pendidikan dasar itu kan penting banget ya karena itu mengolah proses berpikirnya.
Konsep transfer of technology saya gak paham. Maksudnya technology itu sendiri berubah, pengetahuan itu berubah, gak bisa ditransfer. Yang bisa dilatih itu proses berpikir, kritis.
Baca Juga: Menarik, Tesla Kembangkan Mobil Listrik Rp300 Jutaan
Saya bisa mengerti maksud Anda. Memang kita seharusnya melakukan inovasi sendiri dengan mengembangkan lembaga riset yang ada.