Dubes RI Djauhari Oratmangun: China Dukung Kita Jadi Pusat Produksi Vaksin

Kamis, 29 Oktober 2020 | 12:15 WIB
Dubes RI Djauhari Oratmangun: China Dukung Kita Jadi Pusat Produksi Vaksin
Ilustrasi wawancara. Dubes RI untuk China Djauhari Oratmangun. [Foto: Dok. KBRI / Olah gambar: Suara.com]

Tapi sejak itulah kemudian Indonesia mulai ikut berpartisipasi. Kita mulai aktif membahasnya di 2017 saat Bapak Presiden hadir di Belt and Road Initiative Summit di Beijing, China, tahun 2017. Lalu Belt and Road Summit ke-2 tahun 2019 yang dihadiri Pak Wapres Jusuf Kalla. Waktu itu bulan April.

Karena itulah sejak 2017 sampai 2018 kita membahas sinergi. Sinergi antara Poros Maritim Indonesia dengan Belt and Road Initiative dari China. Jadi itu namanya sinergi. Kita kawinkan supaya bisa berjalan bersama-sama, khususnya untuk Indonesia. Dalam konteks itu kemudian ditandatangani MoU antara Indonesia dan Tiongkok. MoU-nya berjudul “Synergy Global Maritime Fulcrum”. Ini merupakan sinergi antara Poros Maritim Indonesia dan Belt and Road Initiative China.

Kemudian, itu menghasilkan empat koridor ekonomi. Korider ekonomi pertama di Sumatera Utara, kedua di Kalimantan Utara, ketiga di Sulawesi Utara, dan keempat di Bali. Tim feasibility study untuk proyek-proyek itu sudah bekerja. Dari China sudah datang ke Indonesia beberapa kali. Sekarang kan proyek-proyeknya perlahan-lahan mulai jalan, baik itu di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi dan Bali. Kalo di Bali itu infrastruktur pariwisata dan manufaktur.

Garis besar nilai investasi Belt and Road Initiative pada saat pembahasan awal sekitar US$ 64 miliar. Lumayan kan. Jadi itulah kira-kira tentang Poros Maritim Indonesia.

Apa pertimbangan pemilihan lokasi untuk empat koridor ekonomi itu?

Itu yang paling tahu sebetulnya Bappenas, Mbak. Karena harus dikaitkan dengan prioritas pembangunan kita juga. Saya kira itu pembahasan di dalam negeri sehingga diputuskan koridor ekonomi tersebut. Kan itu dikaitkan juga dengan poros maritim kita.

Kalo kita lihat, memang tidak ada di Jawa, karena di Jawa kan sudah banyak industrinya. Jadi, supaya membangun dari luar. Saya kira pembahasannya cukup intensif di Indonesia melalui Bappenas. Kan tetap harus dikaitkan dengan perencanaan pembangunan nasional juga.

Pemerintah China kelihatan tertarik sekali untuk menggelontorkan dana investasi yang besar, membangun proyek-proyek industri maupun infrastruktur. Tentu ini memengaruhi mobilitas orang antar kedua negara. Apakah Pak Joe melihat ada ekses negatif?

Kalo saya melihatnya, itu tergantung bagaimana kita menerimanya. Contoh di Morowali. Kan orang suka mispersepsi. Dari tenaga kerja 35.000 yang ada di sana, orang Tionghoa kan hanya 5.000, sedangkan 30.000-nya orang Indonesia. Tapi ya, biasalah, kalo kita kan sangat suka terpengaruh juga dengan berita-berita yang belum tentu validasinya. Akhirnya terbawa.

Baca Juga: Penelitian Awal Vaksin Sinovac Dilakukan di Luar Negeri, Ini Kata BPOM

Sama seperti misalnya sekarang Wijaya Karya [perusahaan konstruksi milik pemerintah --Red] atau yang lain, investasi di Afrika. Kita bawa juga tenaga kerja ke sana untuk kerja. Jadi, think about that! At least pada saat-saat awal investasi, pasti mereka akan bawa tenaga kerja mereka untuk mengerjakan hal-hal yang belum kita punya.

Kemudian putra-putra daerah dididik. Sekarang terbukti di Morowali kan tenaga-tenaga kerja lokal malah sudah banyak, sudah 30.000. Jadi memang prosesnya seperti itu.

Seperti juga dulu investasi dari negara-negara lain yang masuk ke Indonesia, kan sama saja. Di awal-awal, ada negara A investasi ke Indonesia, ya negara A ini kirim orangnya dulu. Negara B juga begitu. Itu sama juga dengan China. Ya, seperti gitu juga kan.

Soal perjanjian perlindungan tenaga kerja dengan China. Apakah kita punya perjanjian untuk melindungi tenaga kerja kita di sana? Belum lama ini kan ada kasus pekerja Indonesia yang diperlakukan tidak manusiawi.

Kasus ABK?

Iya.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI