Di India kan meledak karena upacara keagamaan. Masyarakat kita nekat mudik karena cuma merasa perlu pulang ke rumah, bukan upacara keagamaan. Apakah ini dua hal yang berbeda?
Dalam setiap praktik kebudayaan itu, selalu basisnya adalah klaim kekhususan. Bahwa kami beda dengan yang lain, itu khas itu dalam setiap justifikasi kebudayaan. Selalu dia basisnya kekhususan, bahwa nilai dan budaya saya beda dengan yang lain.
Padahal di hadapan pandemi, intinya sama. Dia membangun satu risiko dengan membentuk satu jarak sosial yang pendek. Kalau di India memang luar biasa, kumpul jutaan orang di Sungai Gangga. Kalau di sini mudik, barangkali memang tidak sepadat upacara di India itu. Tapi itu tidak jauh berbeda dari segi gerak fisiknya, orang tetap bergerak membentuk kepadatan yang lebih solid. Sama saja.
Kedua, itu sama-sama perilaku kebudayaan. Di India ada histeria di situ. Di kita ini kan tidak, lebih kepada kesadaran dan perasaan untuk mencari balik nilai-nilai di kampungnya.
Apa sih alasan khusus bagi para perantau? Kenapa mesti memaksakan untuk mudik? Apa nilai-nilai yang mereka pegang meskipun ada Covid?
Kita tidak bisa menerangkan itu dalam satu kerangka yang rasional. Pembelahan rasional dan irasional tidak bisa kita pakai di sini. Pembatasan sosial pandemi itu suatu gerak rasional medis. Tapi arus kebudayaan ini arus dalam mental, tidak bisa kita rasionalisasi, tidak bisa dinalar.
Karena dia tradisi yang sudah menjadi habitus, dia berakar secara struktural. Artinya, ini sudah panjang lintasan sejarahnya praktik semacam ini. Dia juga sudah mengalami spiritualisasi, disematkan nilai-nilai tertentu dan dikonstruksi sebagai suatu bentuk keluhuran.
Jadi, namanya juga nilai, nilai tidak bisa dirasionalisasi. Misal saya suka A dan kamu suka B, tidak bisa diperbandingkan. Itulah kenapa yang bisa kita lakukan tinggal menafsirkan dan memahaminya. Jadi kalau kita mau mengubah, maka kita harus menafsirkan dan memahami terlebih dahulu nilai-nilai ini.
Itulah kenapa, secara sederhana kan dipakai jugalah pelbagai cara halus. Misalnya tahun lalu ada kampanye: jangan bahayakan orangtua kamu. Itu kan sebenarnya satu kampanye yang juga keluar karena hasil dari pemahaman, melarang tapi dengan cara memahami.
Baca Juga: Habib Nabil bin Ridho Al Habsyi: Bimbing Umat, Ulama Tak Bisa Jalan Sendiri
Bukannya saya menganjurkan mudik, tapi sekarang faktanya dia bisa dilarang tapi tak bisa dihentikan. Di sini pembuat kebijakan juga mesti pintar. Maka pembuat kebijakan juga mesti beradaptasi, menyesuaikan diri dengan laju gerak ini untuk mengantisipasi ledakan kasus Covid-19 pasca lebaran.