Tidak bisa dikatakan mana salah mana benar, mana kalah mana menang, karena yang dihalangi cukup besar, tetapi juga residu yang kemudian merembes tetap masuk itu juga tetap banyak. Situasinya kira-kira sekarang kayak begitu.
Berbicara soal mudik yang sudah menjadi budaya atau tradisi bagi masyarakat atau perantau, tapi ada pandemi ini, pemerintah mau tidak mau melarang mereka menjalankan tradisinya. Jadi apakah larangan mudik ini efektif terkait penanganan Covid-19?
Efektif atau tidak efektif itu nomor dua. Efektivitas itu tergantung dari cara bagaimana melarangnya. Tapi pertama, memang harus ada aturan tegas melarang dalam situasi sekarang, apalagi kita dapat pelajaran penting dari India.
India karena punya pabrik vaksin, juga vaksinasi dia lakukan cukup banyak, lalu ada pelandaian. Tapi dia lupa, dan kemudian kelupaan ini juga didorong oleh kesalahan dari para pemimpin politiknya.
Narendra Modi, dia lengah, malah dia yang mendorong aneka macam festival dan pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan mobilisasi politik menjelang pemilu di sana. Akibatnya terjadi 'gelombang tsunami' Covid-19 yang luar biasa di India. Varian virus itu yang terjadi di India juga sudah masuk ke sini.
Kalau kita lihat India, ketika dia kecemplung ke dalam rongga tsunami Covid-19 ini, dia bukan hanya membebani pemerintahannya tapi juga membebani kawasan di dunia. Indonesia jangan sampai mengalami magnifikasi kasus Covid yang sedemikian rupa itu.
Sehingga kalau dilakukan pengetatan dengan larangan mudik itu, saya kira memang harus seperti itu, tepat untuk dilakukan. Nah sekarang, bagaimana supaya efektif? Pertama, dia perlu jelas, problem utama dari penerapan kebijakan Covid sekarang adalah keserentakan dan keterpaduan antara kebijakan nasional dan daerah. Itu perlu lebih menggunakan semantik yang jelas, supaya satu dan sama, tidak multitafsir.
Misalnya begini, mudik dilarang 6-17 Mei, titik sampai di situ. Itu kan kalau tidak disampaikan secara jernih dan teliti, itu orang kemudian tafsirkan: "kalau sebelum tanggal 6 boleh dong?" Akhirnya orang ambil pilihan: "ya udah, buru-buru sebelum tanggal 6 kita jalan".
Setelah itu muncul aturan baru, tapi itu celahnya sudah terlanjur terbuka. Ini yang menimbulkan situasi yang serba rumit di lapangan untuk semua aparat kita yang terlibat di situ.
Baca Juga: Habib Nabil bin Ridho Al Habsyi: Bimbing Umat, Ulama Tak Bisa Jalan Sendiri
Jadi menurut saya, dalam banyak hal, kebijakannya oke untuk melarang mudik, tapi kurang disertai dengan narasi dan satu model semantik yang jelas, yang tidak membuka celah orang untuk masuk ke dalam lobang-lobangnya.
Di sini juga memang kelihatan. Kita kan sudah sudah hampir dua tahun memasuki masa pandemi ini, mestinya masyarakat juga sudah terdidik secara tidak langsung dalam situasi Covid-19 ini, dan sudah tumbuh kesadaran medis.
Cuma karena ada vaksinasi tempo hari itu, sedikit banyak mengakibatkan orang sedikit lebih terlalu percaya diri. Nah, itu yang kemudian juga menimbulkan kelonggaran-kelonggaran. Orang jadi lebih ceroboh, menganggap bahaya sudah berlalu. Jadi dengan kata lain, kampanye dan penerapan standar prosedur kesehatan itu tidak bisa dilengahkan.
![Sejumlah penumpang berada di dalam gerbong Kereta Rel Listrik (KRL) di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Jumat (12/6). [Suara.com/Angga Budhiyanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/06/12/37538-pembatasan-penumpang-krl.jpg)
Jadi, kalau lihat tipe respon masyarakatnya, kita sebaiknya tidak membuat semacam statement atau pandangan yang mengisyaratkan seakan-akan keadaan lebih oke atau aman, karena akan segera dianggap sebagai sinyal bahwa kewaspadaan bisa lebih diturunkan.
Jadi saya kira, sebelum kita benar-benar memastikan melalui pembacaan dari perkembangan pandemi virus ini di level global, maka saya kira penanaman sosialiasi, pendidikan, pemahaman dan awareness tentang bahaya Covid ini tidak boleh diturunkan.
Masyarakat sudah dua tahun hidup bersama Covid-19. Lebaran tahun kemarin mereka pasrah, menurut dilarang mudik. Tapi tahun ini, meski dilarang juga tapi banyak masyarakat "memberontak" nekat mudik. Apakah artinya masyarakat sudah jengah dengan pandemi?