Robertus Robet: Soal Larangan Mudik, Semantik Kebijakan Perlu Diperhatikan

Selasa, 11 Mei 2021 | 16:03 WIB
Robertus Robet: Soal Larangan Mudik, Semantik Kebijakan Perlu Diperhatikan
Ilustrasi wawancara. Robertus Robet, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta. [ABC/Erwin Renaldi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Oleh karena itu, mudik itu disebut juga dengan istilah orang pulang. Orang pulang itu tidak pernah punya konotasi negatif. Jadi konstruksi kebudayaan ini yang membalut dimensi strukturalnya tadi itu. Basisnya gap ekonomi antara desa dan kota, tapi oleh karena dia menstruktur, sehingga menghasilkan praktik budaya yang kemudian dibalut dengan aneka macam nilai dan moralitas.

Ini yang menjadikan mudik itu bukan lagi semata-mata perpindahan fisik, tapi dia sekaligus tindakan etik dan kultural. Itu sulit dihentikan. Ada tarikan moral dan kultural dari orang yang merasa sebagian dirinya yang sejati ada di tempat asalnya.

Dia bukan semata-mata gerakan pulang yang biasa. Ini pulang yang didorong oleh basis gap struktural desa dan kota. Tapi lebih dari itu, ada pemaknaan, ada konstruksi struktural yang lebih kompleks dalam psikologi orang.

Kalau Suara.com memberikan istilah "gegar budaya" (untuk acara bincang-bincang ini --Red), sebenarnya mudik adalah satu arus kebudayaan. Arus kebudayaan ini yang berhadapan untuk kedua kalinya dengan satu logika medis, yaitu logika pembatasan gerak dari pandemi.

Nah, di sinilah perbenturan itu terjadi. Di satu sisi ada arus yang sedemikian besar, arus tarikan kebudayaan yang selalu ingin membawa orang untuk pulang, merengkuh kembali sumber dari nilai-nilai, perasaan, suasana, rasa kangen dari tempat mana dia berasal; tapi di sisi lain, gerak kembali ini tersekat oleh pandemi. Di situlah kita melihat pertarungan atau konflik antara rasionalitas pandemi dengan kebudayaan.

Tidak bisa dikatakan mana salah mana benar, mana kalah mana menang, karena yang dihalangi cukup besar, tetapi juga residu yang kemudian merembes tetap masuk itu juga tetap banyak. Situasinya kira-kira sekarang kayak begitu.

Berbicara soal mudik yang sudah menjadi budaya atau tradisi bagi masyarakat atau perantau, tapi ada pandemi ini, pemerintah mau tidak mau melarang mereka menjalankan tradisinya. Jadi apakah larangan mudik ini efektif terkait penanganan Covid-19?

Efektif atau tidak efektif itu nomor dua. Efektivitas itu tergantung dari cara bagaimana melarangnya. Tapi pertama, memang harus ada aturan tegas melarang dalam situasi sekarang, apalagi kita dapat pelajaran penting dari India.

India karena punya pabrik vaksin, juga vaksinasi dia lakukan cukup banyak, lalu ada pelandaian. Tapi dia lupa, dan kemudian kelupaan ini juga didorong oleh kesalahan dari para pemimpin politiknya.

Baca Juga: Habib Nabil bin Ridho Al Habsyi: Bimbing Umat, Ulama Tak Bisa Jalan Sendiri

Narendra Modi, dia lengah, malah dia yang mendorong aneka macam festival dan pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan mobilisasi politik menjelang pemilu di sana. Akibatnya terjadi 'gelombang tsunami' Covid-19 yang luar biasa di India. Varian virus itu yang terjadi di India juga sudah masuk ke sini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI