Marthen Abrauw: Kalau Tanah Kami Diambil LAPAN untuk Bandar Antariksa, Lantas Nasib Kami Nanti Bagaimana?

Sabtu, 09 April 2022 | 11:26 WIB
Marthen Abrauw: Kalau Tanah Kami Diambil LAPAN untuk Bandar Antariksa, Lantas Nasib Kami Nanti Bagaimana?
Ilustrasi wawancara. Ketua Adat Marga Abrauw di Saukobye, Biak Numfor, Papua, Marthen Abrauw. [Foto: Jubi/Theo Kelen - Olah gambar: Suara.com]

Suara.com - BAGI Marthen Abrauw, persoalan tanah yang disebut sudah menjadi lahannya LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan rencananya hendak dijadikan Bandar Antariksa di Biak, bukan sekadar masalah haknya secara pribadi. Ini adalah soal tanah moyangnya, tanggung jawabnya, serta nasib anak cucu marganya kelak.

Marthen Abrauw sendiri bukan sosok sembarang, karena dia adalah seorang mananwir atau ketua adat yang tentu harus memikul tanggung jawab lebih besar. Makanya, ketika ditemui di kampungnya di Desa Saukobye, Distrik Biak Utara, Kabupaten Biak Numfor, Papua, awal Maret 2022 lalu, rasa gundah sekaligus kegeraman terpancar dari omongannya.

Ini adalah masalah 100 hektare tanah ulayat marga Abrauw yang sejak lama diklaim LAPAN di daerah itu. Tanah yang sejatinya tidak mungkin dijual karena merupakan warisan leluhur, serta diperuntukkan bagi kehidupan mereka sampai anak cucu nanti. Lahan yang menjadi gantungan hidup mereka sehari-hari, yang selama ini juga senantiasa dilestarikan oleh Marthen dan warga lainnya.

Masalahnya, jika memang tanah tersebut kemudian menjadi lahannya LAPAN yang konon puluhan tahun lalu sudah membayar Rp 15 juta untuk itu, lalu di mana lagi marga Abrauw akan hidup? Apalagi jika memang jadi dibangun bandara antariksa atau fasilitas LAPAN lainnya yang jelas-jelas tak dipahami warga apa kegunaan dan manfaatnya.

Menyambung artikel liputan khas yang sudah lebih dulu diterbitkan Suara.com, berikut petikan pembicaraan dengan Marthen Abrauw yang ditulis ulang dalam format wawancara tanya-jawab:

Bagaimana proses pelapasan lahan 100 hektar ke LAPAN?

Tamat di SD, saya sudah keluar, tinggal di Nabire sana. Saya pulang kesini terus tidak lama ini, dari tempat ini. Jadi proses yang kalian maksud itu, menurut saya punya orangtua itu, mereka minta banyak waktu itu Rp 1 miliar.

Tapi karena ada Koramil, kalau kita orang menghalangi pembangunan, ya kita (dituduh) mau bikin OPM lagi. Kita diancam, orangtua kita. Tahun itu (1980), diancam. Teteh bilang, "Ya sudah, daripada kita mati. Terima sudah."

Saat itu ada DOM (Daerah Operasi Militer), kita tidak aman saat itu. Saya masih kecil. Orangtua saja yang bawa dorang kesana-kemari.

Baca Juga: Koalisi Sipil Desak Pemerintah dan DPR Batalkan Pembentukan 3 Provinsi Baru di Papua

Jadi karena pertimbangan keamanan, (makanya) lahan itu diserahkan?

Iya, tertekan begitu. (Ada stigma OPM) Iya waktu itu.

Pelepasan lahan 100 hektar (waktu itu) dibayar berapa?

(Dibayar) Rp 15 juta waktu itu. Waktu itu habis dibayar, tidak dikelola. Ditinggal saja begitu, sampai 20 tahun lebih. Patok itu waktu surveinya tahun 1980-an.

Di hutan adat itu ada apa saja?

Kalau di hutan itu babi hutan, mambruk, maleo hutan, kakaktua putih, nuri. (Ada) Kayu besi, matoa, kayu bawang, kayu abram, kayu semua ada. Kita mau ke pantai lewat hutan itu. Kita semua berkebun di sana, mencari di sana.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI