Dan bersyukur kepada Tuhan, ada sebuah organisasi internasional, IOM, dengan melihat saya melakukan pelayanan ini, mereka juga merasa bahwa kalau boleh dibantu. Maka kita lakukan kemitraan, kerja sama yang baik. Saya dimasukkan ke dalam Tim Satgas Penanganan TPPO, untuk bisa diikutkan pelatihan-pelatihan bagaimana melihat situasi, kondisi dan penanganan persoalan seperti itu, dan akhirnya terlibat di dalamnya.
Waktu berjalan, sedemikian [sampai] hampir dekat belasan tahun, itu saya mulai bekerja sama dengan pemerintah. Masuk di lininya pemerintah dengan stakeholder yang ada di Kabupaten Nunukan. Tentunya dengan mendapatkan SK dari bupati untuk bisa mempunyai ruang gerak yang resmi, yang tidak ilegal, atau dibilang "calo" --begitu bahasa kasarnya. Akhirnya saya mulai berkiprah, bekerja sama dengan pemerintah, kita melakukan pelayanan-pelayanan seperti ini.
Dan sampai saat ini, begitu banyak para deportan yang dikirim tetap mereka mendapatkan pelayanan yang prima. Bahkan ODGJ itu merupakan bagian saya, saya yang menanganinya. Apakah itu saya simpan dia di rumah, ataukah seperti apa, saya melakukan itu. Karena memang mungkin saya punya kharisma sendiri untuk melakukan penanganan terhadap ODGJ ini. Dan itu nyata. Kalau ada orang yang begitu, dia tidak sembuh total di situ, tapi paling tidak dia bisa dapat saya uruskan untuk pulang ke kampung. Ada beberapa yang kita kirim ke Samarinda untuk mengikuti pemulihan, dan itu syukur alhamdulillah, saya bersyukur karena itu bisa terjadi.
Menarik yang ODGJ ini. Itu mereka apakah juga bagian dari TKI atau pekerja migran?
Memang tadinya di dalam penjara, kemudian dengan persoalan yang bertubi-tubi, [mengalami] tekanan batin mereka. Kemudian tempat tidurnya juga tumpang tindih, tidak ada suasana yang bisa menjamin ketenangan hidup mereka. Akhirnya dari situ mereka mulai stres kemudian yang berlebihan, akhirnya dikatakan sebagai orang gila.
Berapa jumlah ODGJ di sana? Apakah sangat masif?
Setiap bulannya itu ada. Sekarang ini saja, sudah ada 10 lebih di Nunukan. Ada yang bisa kita ajak komunikasi. Saya selalu bawa rokok, kepada mereka saya bertemu. Saya layani, saya ladeni. Ada uang, saya kasih untuk beli makanan. Kalau tidak ada, saya bawa nasi kotak dari sekolah, jika saya bertemu mereka saya kasih. Dan itu bagian dari perhatian saya sebagai seorang di lapangan yang berkiprah dalam tugas dan pelayanan sebagai pekerja aktivis kemanusiaan.
Saya lakukan itu semata-mata hanya untuk mau membuat mereka senang, [agar] mereka bisa merasa bahwa ada saudara, ada keluarga yang dapat memberi perhatian. Dan itu saya rasakan bahwa kebahagiaan juga untuk saya, karena saya telah memenangi hati mereka. Dengan mengajak ngobrol, bersenda gurau, menyanyi bersama, itu kan juga. Sama orang gila saya ajak untuk kita bernyanyi. Jadi saya merasa bahwa ini sebuah pendampingan yang tidak terlalu rumit. Kita hanya bisa dapat melihat dari psikologinya, bahwa [mereka] bisa, akan terbantu.
ODGJ ini ditemukan di mana saja? Apakah mereka ada di penampungan?
Baca Juga: Debryna Dewi Lumanauw dan Harapan Adanya Kesetaraan Gender serta Kesetaraan Healthcare
Di jalan, di mana-mana, dia ada. Karena kalau kita bawa dia, dia masih rasa kaku. Apakah mungkin [karena] dia merasa trauma atau bagaimana dengan penangkapan polisi di Malaysia, atau dengan kekerasan yang terjadi di penjara, saya juga tidak terlalu tahu banyak. Pada saat saya mengajak mereka untuk ke tempat sesuai keinginan saya, mereka tidak mau. Tapi kalau saya ajak mereka ke warung untuk kita makan, mereka mau. Jadi saya selalu ajak mereka untuk makan di warung. Minta makan apa, minta minum apa, punya rokok atau tidak? Jadi yang ada pada saya, itulah yang saya berikan. Kalau memang tidak ada sama sekali, ya, hanya tegur sapa saja.
Lalu sampai kapan ODGJ ini berada di Nunukan? Apakah [memang akan] diarahkan untuk pulang ke kampung halamannya?
Mereka punya tempat tersendiri. Jadi, biar mereka lalu-lalang di Nunukan itu; ada yang malam sampai di teras mana saja, mereka tidur saja di situ. Ada yang punya tempat sendiri, jadi dia bisa kembali ke situ. Tetapi pada saat saya mengajak mereka untuk pulang kampung, mereka belum nyambung. Bahkan ada beberapa yang saya cari keluarganya, pak. Kalau keluarganya mau, seperti kemarin yang satu dari Kota Kinabalu, itu saya telepon ke keluarganya, mereka bilang mau dikirim, akhirnya saya kirim ke kampung. Jadi, keluarganya yang memberikan saya mandat, memberikan saya untuk mengurus, baru saya urus.
Bagaimana cara Pak Yohanes mengajak mereka mereka itu untuk kembali ke rumah?
Pada saat deportan ini datang, kan kami di Tim Satgas itu bawa mereka ke Rusunawa. Di sana ada kesempatan, kami bisa bertemu dengan mereka, memberikan pencerahan dan edukasi. Mengembalikan cara pikir mereka untuk cara berpikir yang baik, tidak menjadi pekerja ilegal. Kita berikan tatanan itu, supaya mereka juga bisa dapat memahami. Dan ada yang mereka sampai minta, "Pak, bisakah kami cari pekerjaan di sini?" Saya bilang, "Oh, bisa. Di sini ada dinas tenaga kerja yang bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan di sini. Kalau bapak-ibu mau kerja di sini, daftarkan nama, karena ada regulasinya."
Kalau memang itu, kita minta kontrak kerjanya, persyaratan-persyaratan yang ada yang harus terpenuhi oleh pekerja-pekerja ini. Dan justru ada yang sampai saat ini masih bekerja di perusahaan itu. Ada yang kami kirim ke Samarinda, ke Sangkulirang, untuk bekerja di sana sebagai pekerja perkebunan kelapa sawit. Karena memang mereka di sana juga punya pengalaman itu. Ya, jadi, hanya ini saja yang bisa kami lakukan.