Berapa jumlah ODGJ di sana? Apakah sangat masif?
Setiap bulannya itu ada. Sekarang ini saja, sudah ada 10 lebih di Nunukan. Ada yang bisa kita ajak komunikasi. Saya selalu bawa rokok, kepada mereka saya bertemu. Saya layani, saya ladeni. Ada uang, saya kasih untuk beli makanan. Kalau tidak ada, saya bawa nasi kotak dari sekolah, jika saya bertemu mereka saya kasih. Dan itu bagian dari perhatian saya sebagai seorang di lapangan yang berkiprah dalam tugas dan pelayanan sebagai pekerja aktivis kemanusiaan.
Saya lakukan itu semata-mata hanya untuk mau membuat mereka senang, [agar] mereka bisa merasa bahwa ada saudara, ada keluarga yang dapat memberi perhatian. Dan itu saya rasakan bahwa kebahagiaan juga untuk saya, karena saya telah memenangi hati mereka. Dengan mengajak ngobrol, bersenda gurau, menyanyi bersama, itu kan juga. Sama orang gila saya ajak untuk kita bernyanyi. Jadi saya merasa bahwa ini sebuah pendampingan yang tidak terlalu rumit. Kita hanya bisa dapat melihat dari psikologinya, bahwa [mereka] bisa, akan terbantu.
ODGJ ini ditemukan di mana saja? Apakah mereka ada di penampungan?
Di jalan, di mana-mana, dia ada. Karena kalau kita bawa dia, dia masih rasa kaku. Apakah mungkin [karena] dia merasa trauma atau bagaimana dengan penangkapan polisi di Malaysia, atau dengan kekerasan yang terjadi di penjara, saya juga tidak terlalu tahu banyak. Pada saat saya mengajak mereka untuk ke tempat sesuai keinginan saya, mereka tidak mau. Tapi kalau saya ajak mereka ke warung untuk kita makan, mereka mau. Jadi saya selalu ajak mereka untuk makan di warung. Minta makan apa, minta minum apa, punya rokok atau tidak? Jadi yang ada pada saya, itulah yang saya berikan. Kalau memang tidak ada sama sekali, ya, hanya tegur sapa saja.
Lalu sampai kapan ODGJ ini berada di Nunukan? Apakah [memang akan] diarahkan untuk pulang ke kampung halamannya?
Mereka punya tempat tersendiri. Jadi, biar mereka lalu-lalang di Nunukan itu; ada yang malam sampai di teras mana saja, mereka tidur saja di situ. Ada yang punya tempat sendiri, jadi dia bisa kembali ke situ. Tetapi pada saat saya mengajak mereka untuk pulang kampung, mereka belum nyambung. Bahkan ada beberapa yang saya cari keluarganya, pak. Kalau keluarganya mau, seperti kemarin yang satu dari Kota Kinabalu, itu saya telepon ke keluarganya, mereka bilang mau dikirim, akhirnya saya kirim ke kampung. Jadi, keluarganya yang memberikan saya mandat, memberikan saya untuk mengurus, baru saya urus.
Bagaimana cara Pak Yohanes mengajak mereka mereka itu untuk kembali ke rumah?
Pada saat deportan ini datang, kan kami di Tim Satgas itu bawa mereka ke Rusunawa. Di sana ada kesempatan, kami bisa bertemu dengan mereka, memberikan pencerahan dan edukasi. Mengembalikan cara pikir mereka untuk cara berpikir yang baik, tidak menjadi pekerja ilegal. Kita berikan tatanan itu, supaya mereka juga bisa dapat memahami. Dan ada yang mereka sampai minta, "Pak, bisakah kami cari pekerjaan di sini?" Saya bilang, "Oh, bisa. Di sini ada dinas tenaga kerja yang bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan di sini. Kalau bapak-ibu mau kerja di sini, daftarkan nama, karena ada regulasinya."
Baca Juga: Debryna Dewi Lumanauw dan Harapan Adanya Kesetaraan Gender serta Kesetaraan Healthcare
Kalau memang itu, kita minta kontrak kerjanya, persyaratan-persyaratan yang ada yang harus terpenuhi oleh pekerja-pekerja ini. Dan justru ada yang sampai saat ini masih bekerja di perusahaan itu. Ada yang kami kirim ke Samarinda, ke Sangkulirang, untuk bekerja di sana sebagai pekerja perkebunan kelapa sawit. Karena memang mereka di sana juga punya pengalaman itu. Ya, jadi, hanya ini saja yang bisa kami lakukan.