Yohanes N Soge Makin: Mari Sama-sama Kita Bantu Pekerja Migran di Perbatasan, Jangan Hanya Sebatas Slogan

Selasa, 24 Januari 2023 | 11:59 WIB
Yohanes N Soge Makin: Mari Sama-sama Kita Bantu Pekerja Migran di Perbatasan, Jangan Hanya Sebatas Slogan
Yohanes N Soge Makin, sosok pekerja sosial yang membantu para pekerja migran. [Suara.com]

Kemudian yang mau pulang kampung, ya, kita uruskan mereka pulang kampung, dengan pemerintah menyediakan tiket kapal Pelni untuk kembali ke sana. Nanti baru mereka merencanakan kembali. Tapi bahwa kami sudah memberikan peringatan kepada mereka, pengurusan paspor di sini sudah satu pintu secara online, maka bapak dan ibu kalau mau ingin bekerja lagi di Sabah, Malaysia, mengurus itu dengan cara legal, dengan resmi.

Yohanes Ensogemakin. [Suara.com]
Yohanes N Soge Makin. [Suara.com]

Ada cerita soal Pak Yohanes sempat menyambut para imigran itu dengan toa. Itu bagaimana ceritanya?

Saya akhirnya mengambil satu cara yang sederhana: saya buatkan spanduk "selamat datang para pahlawan devisa negara". Ya, itu kan ungkapan untuk mereka, biar mereka merasa berbesar hati, merasa kalau "saya ini pahlawan". Kemudian saya bawa sound system. Sound system itu saya pasang, buka lagu-lagu dari NTT, Makassar, Jawa, pokoknya lagu-lagu Nusantara. Dengan maksud, [bahwa] pada saat mereka turun dari kapal, saat mereka menginjakkan kaki di pelabuhan, mereka merasa sudah ada di tanah air, sudah ada di kampung halaman. Sambil saya menyampaikan ke mereka, "Mari kita bersyukur pada Tuhan, Allah SWT, karena kita sudah bebas dari belenggu penderitaan dan kesulitan di Sabah. Bapak dan ibu sekarang sudah ada di tanah air, mari kita mulai merencanakan hidup yang baru."

Seperti itu, motivasi dan spirit yang saya lakukan dengan cara saya sendiri, untuk bisa menyentuh hati nurani mereka untuk tidak lagi menjadikan perantauan yang ugal-ugalan itu lagi, tapi mereka sudah mulai mempersiapkan diri menjadi imigran yang bermartabat, imigran yang resmi, imigran yang bisa diandalkan oleh bangsa kita. Maka saya lebih berprinsip, saya mau melakukan ini untuk menghadirkan negara di Nunukan, negara hadir. Sekalipun memang saya orang yang masih dibawah sekali, tapi kan saya mau supaya ini menjadi sebuah gambaran dan citra, karena kami ada di halaman depannya NKRI, kami ada di beranda depan NKRI. Jadi bagaimanapun, kami memang harus ramah, kami memang harus peduli, seperti itu. Supaya itu bisa dirasakan oleh para migran kita.

Apakah ini bagian dari 'menyentuh' mereka, bahwa (mereka) sudah berada di tanah air?

Bahkan ada sesama saudara saya, biarpun mereka antrian jauh di sana, dia bisa nyelonong ke sana dan dia bilang, “Pak, bisa tambah bass-nya lagi?” Ya itu artinya dia merindukan musik itu, dia merindukan irama itu, dia merindukan suasana itu, maka ini yang saya hadirkan. Dan ternyata Pak Kepala BP2MI itu, Pak Kombes Ginting, kalau soundsystem tidak ada dia pasti cari, “mana Sogen ini? Mana? Kenapa dia tidak datang?” karena dia merasa ini sangat penting untuk bisa menghidupkan suasana, kemudian membuat rasa batin mereka tergerak untuk teringat kampung halaman mereka dan mungkin ini juga merupakan sebuah terapi yang bagi saya hal yang sederhana ini bisa dapat membantu mereka.

Bagaimana keluh kesah membangun pendidikan di daerah bahkan termasuk pedalaman?

Ini berawal dulu ketika saya menjadi anggota komisi migran di Keuskupan Tanjung Selor, yang menjadi Keuskupan migran perantau di Nunukan. Kemudian pada saat Pastor melakukan kunjungan ke Sabah untuk memberikan pelayanan sakramen, saya diikutsertakan. Kemudian saya berpikir, apa posisi saya di sini, dengan melihat anak-anak begitu banyak, saya mulai memikirkan, Oh alangkah baiknya saya melakukan ini, tapi di mana tempatnya? Siapa pendampingnya? Nah waktu itu saya ikutkan program Temu Minggu, jadi anak anak pada saat mau sakramen, perayaan, mereka datang ke kita mulai dengan nyanyi-nyanyi, mulai dengan cerita-cerita tentang perjalanan kehidupan di Gereja Katolik kami, Yesus sebagai Guru dan Teladan itu. Kemudian, orang tua mulia semakin banyak bawa anak-anak mereka.

Dan saya waktu itu terinspirasi untuk bisa memulai, saya minta ketua yang mewakili Gereja Katolik di sana, bisakah kita tarik satu untuk ke samping kanan untuk dibuatkan kelas. Saya masukkan mereka seperti kelas TK begitu, kemudian mulai berjalan, ada orang yang disitu mau mendampingi.

Baca Juga: Debryna Dewi Lumanauw dan Harapan Adanya Kesetaraan Gender serta Kesetaraan Healthcare

Kemudian saya bilang, kita tidak ada uang untuk menggaji kamu, tapi kami hanya minta semangat. Ternyata mereka juga punya respon yang sangat baik, mulai membangun pendampingan itu sampai ke tingkat SD. Sudah ruangan itu penuh, saya harus minta buat lagi di samping sebelahnya, dan masuklah itu ke kelas 3, kelas 4, dan kami perlu memikirkan untuk menyediakan satu tempat yang harus menjadikan ruang belajar.

Kebetulan di situ ada rumah yang disiapkan perusahaan untuk tempat tinggal para pekerja. Tapi perusahaan itu sudah kabur, rumahnya itu masih ada, kami minta mereka untuk kami gunakan tempat itu. Dan disetujui, kami sampai dengan angkatan pertama, angkatan kedua SD.

Setelah itu rumah itu terbakar, dan mereka panggil saya ke Keningau, Malaysia, bagaimana cara solusi. Saya bilang begini saja, “Kita ketemu Bapa Uskup di pedalaman”. Ketemu beliau, beliau menjanjikan untuk bertemu dengan pemilik tanah di daerah itu, ternyata kami diberi ruang mendapatkan 2 hektar tanah dari orang-orang asli disitu. Tapi bagaimana kita mau mendirikan sekolah ini, sambil kami berpikir dan sambil memungut kayu-kayu sisa dari perusahaan itu untuk membangun, datanglah sebuah ordo dari Singapura, namanya Lasalle, Ordo Bruder, Lasalle. Itu dia bergerak di bidang pendidikan juga, melihat kondisi ini mereka tawarkan, “Pak Sogen mungkin bisa kami bantu dengan mendirikan bangunan ini”. Saya bilang, “Kami memang tidak sampai punya kemampuan begitu, tapi kalau bapak mau bantu, bersyukurlah”.

Akhirnya mereka pulang ke Singapura, mendapatkan persetujuan, bangun sekolah itu dua tingkat pak, tapi dalam kondisi semi permanen. Dua tingkat, di bawahnya SD, di atasnya SMP. Kemudian asrama juga dua tingkat, di bawahnya perempuan, di atasnya laki-laki.

Persoalannya tidak ada kebutuhan pokok listrik dan air, nah bagaimana caranya? Saya lagi-lagi berusaha untuk mendapatkan informasi siapa kira-kira di sini yang menjadi anggota DPR di kawasan ini untuk daerah Malaysia itu. Kebetulan orang-orang Katolik saja di situ karena kita Mansalong dengan Penyiangan itu dekat, jadi ada kawin campur. Sehingga bisa dapat kita lakukan koordinasi. Pas saya ketemu mereka bilang ada anggota DPR yang beragama Katolik, kalau boleh kami rekomendasi untuk bapak ketemu. Ketemu lah kami, saya bilang “Pak kebutuhan kami air dan listrik, bila itu bapak berkenan, bisa kah bantu kami untuk dua kebutuhan pokok ini?” Ternyata ada dua mingguan begitu, mereka sudah pasang pak airnya dipasang, listriknya dipasang.

Kemudian, mulailah kami dengan proses pembelajaran yang reguler. Kemudian cari teman-teman guru yang pas-pas saja, yang penting bisa mengajar. Kemudian dalam jangka waktu 2 tahun, pemerintah Malaysia dan Indonesia sudah bekerja sama untuk menyetujui adanya pendidikan anak-anak imigran di sana, Konsulat Jenderal Kota Kinabalu dengan membentuk satu warna pendidikan melalui CLC, masuklah sekolah itu kedalam lininya CLC, sehingga sampai sekarang. Tapi saya masih lagi memberikan perhatian dan kepedulian terhadap lembaga itu, bahkan anak-anak yang tamat disitu, saya tarik mereka untuk sekolah di SMA Katolik di Nunukan, krna memang di SMA Katolik itu juga sekolah yang bisa menampung anak-anak TKI dari sembarang. Bahkan ada yang dari SMA, kebetulan saya ngajar, jadi dosen juga di Poltek, saya arahkan mereka supaya jangan jauh-jauh biar disini saja, dan itu yang saya lakukan pak untuk dibidang pendidikan.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI