Wawancara Eksklusif: Sandyawan Bongkar Rekomendasi TGPF yang Diabaikan Negara

Kamis, 26 Juni 2025 | 17:52 WIB
Wawancara Eksklusif: Sandyawan Bongkar Rekomendasi TGPF yang Diabaikan Negara
Aktivis Sosial, Mantan Anggota TGPF Sandyawan Sumardi. [Suara.com/AI-ChatGPT]

Ini pun sudah diverifikasi berulang oleh dokter dan rumah sakit yang menangani korban. Kalau jumlah segitu saja dianggap belum cukup untuk disebut 'massal', pertanyaannya: berapa lagi jumlah korban yang dianggap layak untuk menyebutnya pemerkosaan massal?

Ini bukan perkara angka semata. Ini perkara pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius.

Bagaimana dampaknya terhadap korban dan keluarganya bila pernyataan seperti Fadli Zon terus diulang di ruang publik?

Yang sering tidak dibayangkan adalah bagaimana korban dan keluarga mereka mendengar pernyataan seperti itu. Coba bayangkan jika yang menjadi korban itu saudara perempuan Anda sendiri—mbakyu atau adik Anda. Lalu diminta untuk muncul dan membuktikan. Itu sangat menyakitkan dan traumatis.

Pernyataan Fadli Zon itu menunjukkan ketidakpekaan terhadap psikologi trauma. Alih-alih memberi empati, dia justru memperkuat budaya conspiracy of silence—sebuah bentuk pembungkaman terhadap para korban. Dan ini, saya kira, dilakukan karena sekarang dia dalam posisi berkuasa.

Apa penilaian Anda terhadap penulisan ulang sejarah yang saat ini digagas oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan?

Saya melihat ini jelas merupakan bagian dari upaya penulisan ulang sejarah. Kalau bukan, tentu peristiwa-peristiwa seperti pemerkosaan massal Mei 1998 tidak akan dipertanyakan kembali. Ini terlihat sebagai situasi mumpung—mumpung sedang berkuasa, mumpung ada kesempatan.

Tapi bisa jadi ia akan menyadari kesalahannya setelah melihat reaksi masyarakat yang sangat luas belakangan ini.

Apakah Anda melihat respons terhadap pernyataan Fadli Zon hanya datang dari dalam negeri?

Baca Juga: Aksi Boneka Babi di Kemendikbud: Protes Gelar Pahlawan Soeharto dan Pernyataan Fadli Zon Soal '98

Tidak. Reaksi juga datang dari luar negeri. Saya bahkan tahu, ketika Fadli Zon datang ke Belanda, dia turut didemo di sana. Isu yang diangkat pun sama: soal upaya penghilangan substansi sejarah, terutama terkait pelanggaran hak asasi manusia, bukan hanya pemerkosaan.

Apa dampak dari penyangkalan peristiwa-peristiwa tersebut bagi para korban dan keluarganya?

Bayangkan perasaan orang tua yang anaknya diperkosa dan dibunuh, lalu kemudian mendengar pernyataan bahwa hal itu dianggap tidak pernah terjadi. Itu sungguh menyakitkan, bahkan absurd.

Perlu dipahami bahwa korban kekerasan seksual bukan hanya pada 12–15 Mei 1998, tapi juga terjadi sebelum dan sesudahnya. Salah satu kasus yang saya ingat betul adalah seorang mahasiswi Universitas Tarumanagara (Untar).

Ia diperkosa saat tidur siang, dan saya mendengar langsung dari dokternya, vaginanya ditusuk hingga mengalami pendarahan hebat. Itu terjadi setelah kerusuhan.

Kemudian ada Ita Martadinata, yang dibunuh karena hendak memberikan kesaksian ke PBB. Lehernya digorok.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI