Apakah kejadian itu benar-benar terdokumentasi dan mendapat perhatian serius dari negara saat itu?
Ya. Sehari setelah Ita dibunuh, saya bersama beberapa kolega membagi tugas. Ibu Ita Nadia dan Ibu Karlina melayat ke rumah duka, sementara saya diundang oleh Gus Dur untuk mengikuti istighasah Nahdlatul Ulama.
![Aktivis Sosial, Mantan Anggota TGPF Sandyawan Sumardi. [Tangkapan layar]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/26/69674-aktivis-sosial-mantan-anggota-tgpf-sandyawan-sumardi.jpg)
Dalam doa bersama itu, Gus Dur secara terbuka mengecam kekerasan seksual yang terjadi, sama seperti pidato Presiden Habibie yang mengecam tindakan tersebut sebagai kejahatan yang biadab.
Setelah TGPF memberikan laporan, Ibu Prof Saparinah Sadli yang juga anggota tim itu, didatangi oleh kelompok perempuan dari berbagai profesi—psikolog, tokoh agama, pendamping korban, dan lainnya.
Jumlah mereka 350 orang. Mereka lalu menghadap Presiden lagi, dan dari sanalah kemudian terbentuk Komnas Perempuan. Jadi kalau sekarang dikatakan ini tidak pernah terjadi, itu sangat mengingkari sejarah yang sudah terdokumentasi dan diakui negara.
Apakah menurut Anda pernyataan Fadli Zon juga secara tidak langsung membantah pengakuan Presiden BJ Habibie?
Tentu saja. Ia bukan hanya membantah TGPF, tapi juga membantah Presiden Habibie yang sudah mengakui peristiwa itu di hadapan publik.
Siapa Fadli Zon? Dia bukan Menteri Hak Asasi Manusia, bukan Jaksa Agung. Dia Menteri Kebudayaan. Tapi justru lewat jabatan itulah ia ingin menulis ulang sejarah.
Apakah Anda melihat ini sebagai upaya menghapus jejak pihak-pihak yang diduga terlibat dalam peristiwa Mei 1998?
Baca Juga: Aksi Boneka Babi di Kemendikbud: Protes Gelar Pahlawan Soeharto dan Pernyataan Fadli Zon Soal '98
Ya, banyak yang melihat seperti itu. Bukan hanya saya. Motif dan arahnya sangat jelas—penggiringan opini untuk mengaburkan pelaku dan korban.
TGPF disebut menemukan adanya pemerkosaan massal. Bagaimana kesimpulan itu bisa dibuktikan secara sistematis?
Sebagian besar kasus yang ditemukan adalah gang rape, yakni perkosaan yang dilakukan oleh sejumlah orang terhadap satu korban secara bersamaan. Itu terjadi di rumah, di jalan, bahkan di depan tempat usaha.
TGPF menemukan kasus-kasus ini tidak hanya pada 12–15 Mei, tapi juga sebelum dan sesudahnya.
Di Medan, misalnya, pada 4–8 Mei 1998, ratusan pelecehan seksual dilaporkan. Ada lima korban yang melapor. Setelah kerusuhan, dua kasus terjadi di Jakarta (2 dan 8 Juli), dan dua lainnya di Solo.
Mayoritas terjadi di rumah korban, tapi banyak juga dilakukan di depan umum. TGPF menyebutnya sebagai gang rape. Kalau itu tidak dianggap sebagai pemerkosaan massal, lalu apa?
Fadli Zon menyatakan, ‘Coba bayangkan bangsa kita dicap sebagai negara pemerkosa massal.’ Menurut Anda, bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap peristiwa kelam ini?
Pernyataan itu justru menyesatkan. Seolah-olah kita ingin melupakan fakta karena takut 'aib'. Tapi coba lihat bangsa lain. Saya pernah ke Museum Holocaust di Washington, Amerika Serikat. Di sana, penggambaran kekejaman Nazi terhadap Yahudi begitu mengerikan—secara visual dan naratif. Tapi mereka tidak menyembunyikannya.