Di Berlin, Jerman, lebih luar biasa. Mereka mengakui bahwa bangsa mereka pernah melakukan kedurjanaan massal, bukan hanya terhadap bangsanya sendiri, tapi juga terhadap bangsa lain. Itu mereka akui secara rendah hati.
Museum-museum dibuat di bawah tanah, dalam suasana hening dan kontemplatif. Semua itu agar bangsa mereka sadar, agar peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi.
Mengapa penting untuk tetap mencatat peristiwa ini dalam sejarah bangsa?
Karena gugatan para korban bukan untuk membalas. Mereka tidak ingin para pelaku dihukum hanya demi pembalasan. Mereka ingin agar kejadian semacam ini tidak menimpa generasi berikutnya. Mesin kekerasan politik harus dihentikan.
Reformasi sistem, pembaruan hukum, serta perubahan etika publik dan institusi harus dilakukan.
Kalau kekuasaan hanya dijalankan oleh segelintir elite bisnis, militer, dan birokrasi negara tanpa pengawasan publik, maka kekuasaan itu menjadi brutal. Dan bahasa seperti yang disampaikan Fadli Zon mencerminkan feodalisme yang tak punya sensitivitas terhadap hak asasi dan gender.
Apakah peristiwa kelam seperti ini bisa dihapus dari ingatan sejarah bangsa?
Tidak akan pernah bisa. Itu akan terus hidup dalam sanubari masyarakat. Kita manusia, bukan mesin. Meskipun luka dan penderitaan berat, tetap ada kehendak bebas dalam diri manusia—untuk melawan, untuk berpikir, dan untuk bersuara.
Dan itulah yang Fadli Zon lupakan.
Baca Juga: Aksi Boneka Babi di Kemendikbud: Protes Gelar Pahlawan Soeharto dan Pernyataan Fadli Zon Soal '98