Suara.com - Setelah berminggu-minggu berada di ambang perang terbuka, Iran dan Israel akhirnya menyepakati gencatan senjata dalam sebuah deklarasi yang disambut dunia dengan lega dan waspada.
Di tengah sorotan internasional yang begitu intens terhadap eskalasi konflik dua kekuatan di Timur Tengah itu, muncul pertanyaan besar: 'Apa sebenarnya duduk perkara dari serangkaian serangan yang nyaris memicu perang regional dan bahkan global?'
Untuk menggali lebih jauh perspektif resmi dari Teheran, Suara.com berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Duta Besar Iran untuk Indonesia Mohammad Boroujerdi.
Boroujerdi menjelaskan bahwa seluruh Tindakan Iran selama konflik merupakan bagian dari hak bela diri, sebagaimana diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 51.
Tak hanya itu, ia juga menjawab sejumlah tuduhan internasional, mulai dari dugaan pengembangan senjata nuklir hingga serangan ke wilayah sipil hingga serangan-serangan balasan Iran yang hanya menyasar target-target militer Israel.
Berikut wawancara eksklusif Suara.com dengan Duta Besar Iran untuk Indonesia Mohammad Boroujerdi:
Bagaimana duduk perkara konflik Iran-Israel? Benarkah, serangan Iran dilakukan untuk membela diri?
Persoalan Rezim Zionis Israel dengan dunia Islam bermula sejak bertahun-tahun lalu, ketika rezim Zionis Israel didirikan secara ilegal hingga saat ini. Setiap kali rezim ini merasa kuat, ia menyerang negara-negara tetangganya, dan hingga kini, secara bersamaan, rezim ini sedang menyerang enam negara di sekitarnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Rezim Zionis Israel telah memulai lebih dari 20 perang di kawasan kami. Sedangkan Iran, dalam 200 tahun terakhir, tidak pernah melakukan invasi dan tidak pernah memulai peperangan dengan pihak mana pun. Apa yang kami lakukan saat ini adalah tindakan bela diri.
Baca Juga: DeepTalk Podcast Ungkap Rencana Rahasia Iran: Penutupan Selat Hormuz?
Semua ini kami lakukan dalam konteks pembelaan terhadap negara kami. Dalam perang pun ada aturan dan tata tertib internasional yang harus dijaga, yaitu tidak boleh menyerang masyarakat sipil, rumah warga, rumah sakit, sekolah, fasilitas nuklir, dan sebagainya.
Mengenai serangan 13 Juni oleh Israel. Dari sudut pandang negara Anda, apa yang menjadi target Israel saat itu?
Menurut saya, mereka mengincar apa yang mereka sebut sebagai tanah yang dijanjikan. Mereka menyerang semua negara tetangga yang menurut keyakinan mereka merupakan bagian dari wilayah tersebut. Dalam upaya ini, Iran dan poros perlawanan menjadi hambatan utama bagi pencapaian tujuan rezim Zionis.
Mereka memiliki pemahaman bahwa Sang Pencipta memberikan kepada rezim ini dan suku mereka tanah yang dijanjikan, mulai dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Efrat di Irak. Mereka mengincar wilayah tersebut.
Siapa pun masyarakat dari negara lain yang berada di wilayah itu akan dibantai dan diusir dari tanah kelahiran mereka.
Saya rasa jika Indonesia berada di kawasan tersebut, maka Indonesia pun akan menjadi sasaran rezim Zionis Israel, karena Indonesia adalah negara besar dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.Indonesia beruntung karena secara geografis letaknya jauh dari rezim ini.
Serangan yang dilakukan Iran pada 21 Juni itu menyasar lokasi militer dan tempat pendukung operasional Israel. Apa yang diincar Iran?
Yang kami lakukan adalah pendekatan preemtif. Kami mencoba mencegah meluasnya perang ini ke depannya. Kami memiliki dokumen dan bukti yang kuat bahwa rezim Zionis Israel menyerang berbagai rumah sakit di Iran, khususnya di Provinsi Kermanshah.
Mereka menyerang warga sipil, ambulans, dan berbagai fasilitas kesehatan. Jika kita melihat sekarang, korban dari serangan rezim Zionis Israel di Iran sebagian besar adalah masyarakat sipil.
Namun yang terjadi, rezim ini sangat pandai menjalankan kampanye media untuk mengubah persepsi siapa yang menjadi korban dan siapa pelaku kejahatan.
Tentu saja mereka menyerang rumah sakit, berbagai fasilitas sipil, dan warga sipil. Tapi kondisi berbeda bagi Iran: sasaran kami adalah target-target militer mereka.
Bagaimana respons Iran terkait pernyataan G7 yang meminta untuk menghentikan program nuklir?
Saya rasa kelompok G7, secara membabi buta dan dengan sengaja, hanya mendukung berbagai kebijakan politik dari Amerika Serikat serta kepentingannya.
Kami berharap forum G7 mengambil kebijakan secara adil dan berdasarkan hati nurani, serta menghormati aturan internasional. Ini sebenarnya hal yang sederhana.
Sebenarnya tidak dibutuhkan resolusi damai atau negosiasi. Tidak perlu ada gencatan senjata. Reaksi akan berhenti jika aksi berhenti. Pembelaan diri akan berhenti jika mereka menghentikan agresi terhadap Iran.
Jika hanya Iran yang diminta untuk menghentikan aksinya, saya rasa itu pendekatan politis yang tidak bisa kami terima.
Apakah benar Iran telah mengembangkan senjata nuklir saat ini?
Saya akan menjawab pertanyaan ini dalam dua bagian. Bagian pertama, ini adalah kenyataan sekaligus lelucon pahit yang kita saksikan belakangan ini: yaitu sebuah rezim yang tidak tergabung dalam badan energi atom internasional, bukan bagian dari NPT (Non-Proliferation Treaty), tidak melaksanakan protokol tambahan dari NPT, tapi justru memiliki sekitar 75–400 hulu ledak nuklir, dan setiap bulannya mengancam tetangganya dengan senjata nuklir.
Bagian kedua, Amerika Serikat adalah satu-satunya negara di dunia yang telah menggunakan bom atom, yaitu terhadap Hiroshima dan Nagasaki. Tapi, sekarang justru Amerika yang meminta Iran menghentikan aktivitas nuklirnya.
Dulu mereka mengatakan hal yang sama terhadap Irak. Mereka menyerang Irak dengan alasan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal atau senjata atom. Tapi apakah senjata itu ditemukan? Tidak.
Saya rasa jika Iran punya bom nuklir, mereka tidak akan berani menyerang Iran seperti sekarang. Justru mereka berani menyerang karena yakin Iran tidak memilikinya.
Apakah Iran sudah menjamin program nuklirnya hanya untuk tujuan damai?
Benar. Kami telah memberikan jaminan kepada lembaga teknis internasional yang menangani tenaga nuklir, yaitu IAEA.
Kami bekerja sama sangat erat dengan IAEA, kami sudah menandatangani NPT, dan secara sukarela melaksanakan protokol tambahan serta pengawasan ketat dari IAEA terhadap tiga situs pengayaan uranium kami, yaitu di Natanz, Fordow, dan Isfahan—yang baru-baru ini diserang oleh Amerika Serikat.
Ketiga situs tersebut berada langsung di bawah pengawasan IAEA.
Sebelumnya, Iran juga melakukan negosiasi dengan negara-negara P5+1 dan menghasilkan kesepakatan bernama JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action), di mana Iran menjamin bahwa aktivitas nuklirnya tetap dalam jalur damai.
Itu adalah kesepakatan yang sangat kuat, dengan tanggung jawab dari kedua belah pihak. Tapi, Amerika Serikat secara sepihak keluar dari kesepakatan tersebut.
Yang mereka khawatirkan sebenarnya bukan soal bom nuklir. Yang mereka ingin adalah agar Iran tidak memiliki energi nuklir sama sekali, bahkan untuk tujuan damai. Mereka tidak ingin kami memperkaya uranium, padahal itu adalah hak wajar setiap negara.
![Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi saat melakukan sesi wawancara dengan Redaksi Suara.com di Jakarta, Senin (23/6/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/23/35944-dubes-iran-mohammad-boroujerdi.jpg)
Apakah Warga Iran mendukung kebijakan pemerintah untuk menyerang Israel, atau mereka lebih memilih hidup damai?
Kami telah mengalami perang yang dipaksakan ke negara kami, dan masyarakat kami memiliki pengalaman dalam hal itu. Mereka cinta kepada pemerintah dan cinta kepada tanah air.
Seperti halnya negara demokratis lainnya, tentu ada saja pihak yang mengkritik pemerintah. Namun, ketika pihak asing melakukan invasi atau agresi ke negara kami, masyarakat akan bersatu.
Masyarakat Iran tentu ingin hidup damai. Tapi, ketika rezim Zionis Israel menyerang, maka mayoritas masyarakat mendukung aksi balasan terhadap rezim tersebut.
Dalam opini publik internasional pun demikian. Agresi Israel tidak mendapatkan simpati, sementara aksi balasan Iran, yang memiliki landasan hukum, justru mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Opini publik kami juga sangat mendukung langkah tersebut. Anda bisa melihat sendiri narasi-narasi masyarakat kami yang tersebar di media sosial.
Di tengah konflik yang semakin masif, bagaimana kondisi perekonomian negara Anda? Apakah turut terdampak?
Tentu, perang tidak pernah membawa dampak baik. Namun, saya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mengundang rekan-rekan media dari Indonesia agar datang langsung ke Iran dan melihat situasinya.
Saya tidak mengatakan bahwa perang tidak menimbulkan dampak. Tentu ada. Tapi, hingga kini, dampaknya masih kecil. Mungkin dalam jangka panjang akan lebih terasa.
Perang biasanya membawa dua dimensi dampak negatif. Pertama, dampak jangka panjang. Kedua, dampak yang dirasakan negara-negara lain, termasuk yang secara geografis jauh dari lokasi konflik.
Saya membaca beberapa pengamat di Indonesia sangat mengkhawatirkan dampak ekonomi dari ketidakamanan ini terhadap Indonesia. Walaupun secara geografis jauh, namun Indonesia tetap bisa terdampak.
Kalau saya boleh merangkum, tentu ada dampak, tapi dampaknya belum begitu terasa karena kuatnya persatuan antara bangsa dan pemerintah Iran.
Trump tiba-tiba mengumumkan menyerang tiga situs nuklir Iran, padahal sebelumnya mengatakan masih akan mempertimbangkan. Bagaimana pendapat Anda?
Amerika Serikat telah melakukan tindakan ilegal. Serangan ini merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan wilayah Iran, dan secara langsung melanggar Pasal 2 Piagam PBB. Mereka menyerang instalasi dan situs nuklir yang justru dilarang oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk dijadikan target.
Serangan ini dilakukan pada saat kami tengah melakukan negosiasi terkait program nuklir damai Iran. Kami telah menyatakan kesiapan untuk memberikan jaminan kepada komunitas internasional dan lembaga-lembaga terkait bahwa Iran tidak mengembangkan bom nuklir, serta selalu menjaga kedamaian sebagai tujuan utama dari aktivitas nuklir kami.
Menurut saya, tindakan Amerika Serikat tersebut tak lain adalah bentuk dukungan langsung terhadap rezim Zionis Israel.
Bagaimana kondisi situs nuklir Iran setelah diserang? Mengapa Iran tampak tidak panik? Apakah masih ada situs lain yang tidak diketahui Israel?
Kami tidak panik karena kami yakin, meskipun situs diserang, ilmu dan pengetahuan tidak bisa dihancurkan. Mungkin ada kerusakan kecil pada fasilitas-fasilitas tersebut, tapi tidak signifikan.
Ilmu pengetahuan tidak berada dalam satu gedung atau satu situs saja. Pengetahuan berada dalam kepala para ilmuwan, tersimpan di perpustakaan, di universitas, dan di tengah para pemuda-pemudi Iran.
Contohnya, jika ada yang ingin menghapus pengetahuan tentang kecerdasan buatan (AI) di Indonesia, apakah cukup dengan menghancurkan satu gedung saja? Tentu tidak.
Begitu pula dengan kami. Situs bisa dibangun kembali, dan kami telah membuktikan hal itu. Beberapa tahun lalu kami memulai dari nol. Sekarang pun kami mampu memperbaiki semuanya.
Setelah serangan dari Amerika, Menlu Abbas Araghchi terbang ke Rusia dan bertemu Presiden Putin. Apakah ini bagian dari strategi Iran?
Kami tidak ingin menggandeng negara lain untuk memperluas perang ini. Sebaliknya, tujuan kami adalah membatasi konflik agar tidak melibatkan lebih banyak aktor.
Faktanya, Rezim Zionis Israel saat menyerang Iran sempat berpikir bahwa dengan menargetkan panglima militer kami, meneror ilmuwan nuklir, dan menyerang situs nuklir milik Iran, maka perang akan berakhir. Tapi kenyataannya berbeda.
Dalam hitungan jam, Iran langsung menunjuk komandan baru untuk menggantikan yang gugur, dan segera melakukan aksi balasan terhadap Israel.
Ketika Israel mulai hadapi kekalahan dalam konflik ini, mereka berusaha menyeret Amerika Serikat dan negara-negara lain untuk terlibat lebih jauh. Bagi kami, hal ini sangat berbahaya, bukan hanya untuk Timur Tengah, tapi juga untuk dunia secara keseluruhan.
Jika pihak luar ikut masuk ke dalam konflik, perang ini akan berubah menjadi berdimensi kawasan dan internasional.
Iran adalah negara yang sangat ahli dalam menghadapi perang berkepanjangan. Namun, kami tidak ingin memperluas perang ini. Tujuan kami jelas: mengakhiri konflik, menciptakan perdamaian, dan menjaga stabilitas kawasan.
Apa pertimbangan negara Anda ingin menutup Selat Hormuz?
Selat Hormuz adalah jalur strategis dan ekonomi penting. Kami mengerahkan Angkatan Laut Iran untuk menjaga kawasan itu dari ketidakamanan dan menyebarkan stabilitas, berbeda dengan Rezim Zionis yang justru menebar ketidakamanan di Teluk Persia.
Israel bahkan menyerang fasilitas Iran yang berdekatan dengan kawasan itu, dan mencoba memancing ketidakamanan.
Namun kami tetap berkomitmen mengelola situasi dengan baik. Kami berharap masyarakat internasional memahami posisi kami. Kami adalah pihak yang menciptakan dan menjaga keamanan di kawasan itu.
Zionis justru ingin menjadikan dua titik strategis—Teluk Persia dan Selat Hormuz—sebagai kawasan yang tidak aman. Kami akan menghentikan reaksi ketika mereka menghentikan aksinya. Langkah Amerika Serikat yang menyerang Iran adalah kesalahan strategis besar dan dapat memicu ketidakamanan yang lebih luas.
Apakah ini hanya gertakan untuk Amerika Serikat?
Bayangkan Indonesia adalah negara yang terletak dekat Selat Malaka dan bertanggung jawab menjaga keamanannya untuk kepentingan bersama. Tapi pada saat yang sama, Indonesia tidak diperbolehkan memanfaatkan Selat Malaka demi kepentingan nasionalnya sendiri.
Apa yang akan dilakukan oleh Indonesia? Jika Anda bisa menjawab itu, maka Anda akan memahami pendekatan yang diambil oleh Iran.
Kami hanya ingin menegaskan bahwa jika kami menjaga keamanan kawasan, kami pun berhak mendapatkan manfaat dari keamanan tersebut. Jangan sampai kami dijadikan penjaga, tapi hak-hak kami dikesampingkan.
![Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi saat berkunjung ke Kantor Redaksi Suara.com di Jakarta, Senin (23/6/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/23/37721-dubes-iran-mohammad-boroujerdi.jpg)
Presiden Prabowo memilih hadir di acara Rusia ketimbang undangan G7. Apakah ada harapan dari negara Anda agar Indonesia turut andil dalam konflik Iran-Israel?
Sejak hari pertama, kami melihat adanya dukungan kuat dari Indonesia terhadap Iran dan kecaman terhadap agresi militer rezim Zionis. Kami menerima banyak pernyataan resmi dari pemerintah Indonesia, para pejabat tinggi, ormas Islam, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan politikus.
Itulah bentuk solidaritas yang kami harapkan, dan kami sangat mengapresiasi sikap tersebut dari Indonesia.
Bagaimana tanggapan negara Anda setelah Israel menyatakan ingin membunuh Imam Besar Iran?
Kalau tujuannya untuk membuat Iran kalah dalam perang, saya rasa itu sia-sia. Beberapa hari yang lalu, 25 personel militer kami telah menjadi korban aksi teror oleh rezim Zionis.
Namun dalam waktu singkat, Iran langsung menunjuk pengganti mereka, dan perlawanan tetap berlanjut. Kalaupun suatu saat pemimpin tertinggi Republik Islam Iran diteror, kami sudah memiliki sistem yang sangat matang.
Kami memiliki lembaga yang disebut Dewan Ahli, yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat. Dewan inilah yang memiliki kewenangan untuk menunjuk pemimpin tertinggi yang baru, jika diperlukan.
Iran adalah negara yang terorganisasi dengan sangat baik, tidak bergantung pada satu tokoh atau figur. Sudah berkali-kali kami kehilangan pejabat tinggi, baik karena kematian maupun teror. Tapi negara ini tetap berdiri kokoh dan melanjutkan perjalanannya.
Bagaimana respons Iran terhadap Amerika? Apakah akan memperkuat kemampuan militer atau memiliki program lain?
Secara prinsip, Iran tidak ingin memperluas perang ini lebih dari yang sudah terjadi.
Saat ini, para pejabat tinggi negara kami sedang melakukan perundingan internal guna menentukan langkah terbaik dan paling tepat sebagai bentuk respons terhadap serangan Amerika Serikat.
Apakah ada keinginan Iran agar Indonesia terlibat lebih jauh dalam konflik Iran-Israel?
Bila dilihat dari sisi geopolitik dan ekonomi, negara seperti Indonesia tentu tidak ingin konflik ini meluas, karena akan berdampak terhadap stabilitas kawasan dan perekonomian global—termasuk Indonesia sendiri.
Tapi ini juga soal prinsip kedaulatan. Jika konflik ini diselesaikan dengan pendekatan yang salah—misalnya, hanya negara tertentu saja yang boleh menguasai teknologi nuklir damai—maka ke depan negara lain pun akan dipersulit jika ingin memanfaatkan energi nuklir untuk kepentingan sipil.
Kalau suatu hari Indonesia ingin menggunakan tenaga nuklir, harus minta izin kepada negara-negara adidaya? Harus membeli uranium yang sudah diperkaya oleh mereka? Ini adalah pendekatan yang tidak adil dan harus dilawan bersama.
Sejak awal, kami melihat bahwa Indonesia memberikan dukungan terhadap Iran dan mengecam tindakan agresif rezim Zionis Israel.
Berbagai tokoh politik, ormas, hingga masyarakat Indonesia menunjukkan solidaritas terhadap Iran. Kami menghargai dan mengapresiasi itu.
Bagaimana dengan pasokan dan kekuatan militer Iran? Apakah akan ditingkatkan setelah ini?
Secara umum, kami tidak menginginkan eskalasi konflik lebih jauh dari kondisi saat ini. Kami tidak mencari perang besar-besaran, tapi juga tidak akan diam jika kedaulatan kami dilanggar.