Perjanjian Investasi Dikaji Ulang

Senin, 11 Mei 2015 | 16:07 WIB
Perjanjian Investasi Dikaji Ulang
Menko Perekonomian, Sofyan Djalil. (Antara/Wahyu Putro)

Suara.com - Perjanjian bilateral investasi (bilateral investment treaty) menjadi perhatian banyak negara-negara berkembang. Karena begitu mudahnya perjanjian bilateral investasi dijadikan landasan bagi investor menggugat pemerintah dimana dia menanamkan modal ke arbitrase internasional jika merasa dirugikan oleh kebijakan setempat. 

Oleh sebab itu, guna melindungi dan mengamankan investasi asing yang ada di Indonesia, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, pihaknya bersama beberapa menteri perencanaan pembangunan perekonomian kabinet kerja Presiden Joko Widodo akan melakukan peninjauan kembali tentang perjanjian bilateral investasi. 

"Iya tadi membahas tentang guideline petunjuk tentang bagaimana perlindungan tentang investasi asing di Indonesia yang efektif. Nanti aturan di BIT akan ada yang di revisi. Karena sudah tidak cocok lagi," kata Sofyan saat ditemui di kantornya, Senin (11/5/2015). 

Pasalnya, menurut Sofyan, aturan perjanjian bilateral investasi banyak yang ditandatangani tahun 1960-1970-an, dengan kondisi ekonomi yang semakin membaik jadi aturan pPerjanjian bilateral investasi dinilai perlu dilakukan revisi.

Selain itu, tujuan peninjauan kembali tentang perjanjian bilateral investasi agar tersedia landasan kerja sama lebih seimbang bagi kedua negara. Maupun keseimbangan dalam konteks host state (negara tuan rumah) dengan investor. 

"Ada komitmen-komitmen kita kepada Asean, menyebabkan BIT perlu dinilai ulang, hal-hal yang sudah gak relevan perlu diteliti ulang. Agar kerja sama antar negara lebih jelas, agar Indonesia terlindungi dari arbitrase," katanya. 

Misalnya, lanjut dia, Indonesia  memberikan perlindungan menjadi terlalu liberal sehingga ada perusahaan yang sedang menanamkan modalnya di Indonesia menggunakan perjanjian bilateral investasi untuk menggugat pemerintah melalui arbitrase. 

"Misal perusahaan negara A tapi karena BIT dengan negara A yang berlaku dengan baik, dia cari negara lain untuk masuk ke indo, yang dimana perlindungannya berlebihan tentang BIT, bisa terancam ke arbitrase. Ini yang akan kita revisi agar indonesia tidak dirugikan," katanya.

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia beberapa kali digugat investor dari beberapa negara, seperti Inggris di arbitrase internasional. Gugatan Rafat Ali Rizvi pada pemerintah Indonesia di arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes yang ada di Singapura. 

Rafat menilai kebijakan pemerintah untuk melakukan bail out Bank Century dinilai menyimpang dan tidak lazim. Kebijakan penyelamatan bank yang kini berganti menjadi PT Bank Mutiara Tbk, Rp6,7 triliun tersebut dinilai telah membuatnya kehilangan saham investasi di Bank Century. 

Gugatan Rafat di ISCID Singapura kandas pada 16 Juli 2013. Arbiter ISCID untuk gugatan ini menerima eksepsi pemerintah dan menolak mengadili  perkara yang diajukan Rafat. Salah satu pertimbangannya yakni investasi yang dilakukan pemohon di Indonesia tidak memiliki izin pemerintah, karena itu perjanjian bilateral investasi menolak memberi perlindungan.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI