Dari sisi medis, lanjut dia, sari tembakau yang diuapkan memiliki dampak kesehatan lebih rendah karena tidak memicu banyaknya tar karena tidak ada pembakaran sebagaimana terjadi pada rokok biasa.
"Kami melakukan lobi, sosialisasi, beraudiensi, berkirim surat dan lainnya guna memberi masukan langsung kepada pemerintah agar cukai vape tidak sebesar itu. Vape ini produk yang lebih sehat daripada rokok biasa yang dibakar sehingga mengurangi risiko kesehatan. Jangan sampai ini dimatikan," kata dia.
Disisi lain, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira mengatakan industri vape sebaiknya didorong perkembangannya terlebih dahulu karena dari pertimbangan kesehatan lebih kecil risikonya dibanding dengan rokok biasa.
Pengguna vape di Indonesia saat ini adalah sekitar satu juta orang per hari. Sementara rokok batang pada 2008 konsumsinya mencapai 240 miliar batang atau setara dengan 658 juta batang rokok per harinya. Berarti uang senilai Rp330 miliar dikeluarkan para perokok konvensional setiap harinya.
Maka, kata dia, pemungutan cukai yang besar bagi rokok biasa menjadi wajar dan tidak adil jika begitu saja diterapkan pada rokok elektrik.
Menurut Bima, vape dapat menjadi jembatan bagi perokok yang ingin berhenti merokok. Jika pemerintah menyuburkan industri vape diharapkan para perokok bakar yang sulit berhenti dapat beralih ke vape yang memiliki risiko kesehatan lebih rendah.
"Pemerintah dapat melakukan efisiensi anggaran BPJS Kesehatan jika masyarakatnya semakin sehat dengan tidak banyak mengeluarkan pembiayaan pengobatan berbagai penyakit yang disebabkan rokok bakar," kata dia.